Akibat Menyombongkan Ilmu

Alkisah, seorang ahli hikmah pernah memberikan nasehat kepada murid-muridnya. “Perhatikanlah baik-baik dalam membicarakan suatu ilmu, wahai murid-muridku. Janganlah sekali-kali kalian membicarakan suatu ilmu pada tempat atau keadaan yang tidak sesuai. Juga janganlah sekali-kali kalian menyombongkan ilmu yang kalian miliki. Takutlah akan siksa yang ditimpakan Allah SWT kepada orang-orang yang sombong. Sesungguhnya, menyombongkan ilmu yang dimiliki itu akan merugikan diri sendiri.”

Beliau kemudian melanjutkan perkataannya. “Akibat menyombongan ilmu ini pernah dialami oleh seorang sarjana. Suatu ketika, ada seorang sarjana yang hendak pergi ke sebuah pulau kecil jauh di seberang lautan. Ia naik sebuah perahu bersama dengan beberapa orang nelayan. Penampilan si sarjana itu tampak paling mencolok di antara para nelayan yang berpenampilan seadanya. Sementara menikmati perjalanan mengarungi lautan luas itu, si sarjana itu memberikan petuah kepada para nelayan yang ada di atas perahu. Ia berkata dengan penuh kebanggaan bahwa kesuksesan manusia hidup di dunia itu bergantung pada empat macam ilmu, yaitu ilmu hitung, ilmu ekonomi, ilmu sosial, dan ilmu politik.”

Si sarjana itu kemudian bertanya kepada salah seorang nelayan, “Apakah Anda menguasai ilmu hitung?”

“Tidak.”, jawab si nelayan.

Si sarjana itu menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian berkata dengan nada meremehkan. “Wah wah wah! Itu sangat berbahaya! Kalau demikian, maka kesuksesan hidup Anda berkurang dua puluh lima persen. Tetapi, tentu Anda menguasai ilmu ekonomi, bukan?”

Si nelayan kembali menggeleng. “Tidak. Saya juga tidak menguasai ilmu ekonomi.”, jawab si nelayan itu lirih.

Si sarjana tampak semakin pongah. “Wah! Kalau demikian, kesuksesan hidup Anda hanya tinggal lima puluh persen.”, katanya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

“Kalau begitu, apakah Anda menguasai ilmu sosial dan ilmu politik?”, si sarjana kembali bertanya kepada si nelayan.

Si nelayan itu kembali menggeleng. “Saya pun tidak menguasai ilmu sosial dan ilmu politik.”, jawabnya.

Si sarjana kemudian berdiri dengan gaya pongah sambil berkacak pinggang. Ia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kebodohan si nelayan. “Waduh! Berarti Anda sudah tidak mempunyai kesempatan untuk sukses dalam kehidupan di dunia.”, katanya dengan sangat yakin.

Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba langit di atas lautan berubah gelap. Udara pun berubah menjadi lebih dingin. Tak lama kemudian, terdengar suara menderu di kejauhan yang semakin lama semakin jelas. Itu adalah suara angin badai yang sedang mendekat, yang kemudian disusul dengan datangnya ombak besar secara tiba-tiba, menghempas perahu sampai terbalik. Semua orang yang ada di atas perahu itu pun terlempar ke permukaan laut.

Para nelayan pun segera berenang agar tidak tenggelam. Mereka sepertinya sudah terbiasa menghadapi angin badai dan ombak besar di tengah lautan. Tiba-tiba para nelayan itu melihat si sarjana yang tampak timbul tenggelam di permukaan air dengan tangan menggapai-gapai.

“To…Tolong! Tolong!”, teriak si sarjana itu dengan suara yang amat ketakutan.

Si nelayan itu bertanya dengan santai kepada si sarjana. “Wahai Tuan Sarjana! Apakah Anda menguasai ilmu berenang?”

Sambil menggapai-gapai dengan panik, si sarjana itu menjawab. “Tidak! Aku tidak bisa berenang! Tolong! Tolong!”, teriaknya dengan penuh rasa takut dan keputusasaan.

Si nelayan itu kemudian menggeleng-gelengkan kepala.”Wah wah wah! Itu bahaya sekali, Tuan Sarjana! Kalau demikian, maka seratus persen kesempatan dan kesuksesan hidup Anda hilang sudah!”, jawab si nelayan sambil berenang santai, berusaha agar tetap mengapung, seraya menunggu badai mereda.


Disarikan dari :

Romli HM., Usep. 2000. Percikan Hikmah (Berdialog dengan Hati Nurani). Penerbit: PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Visits: 562

Leave a Reply