Catatan Penting : Artikel ini mengandung paparan informasi yang mungkin membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman. Sehingga penulis menyarankan bagi para pembaca yang memang tidak nyaman dengan informasi yang berkaitan dengan peristiwa kriminal dan kecelakaan agar TIDAK membaca artikel ini. Artikel ini ditulis dengan maksud hanya sekedar untuk menambah pengetahuan dan wawasan saja, tanpa ada maksud apapun untuk membuat ketidaknyaman. Terima kasih dan mohon maaf sebelumnya.

Kematian terjadi setiap saat dalam kehidupan manusia di dunia ini melalui berbagai macam sebab dan caranya. Sakit, kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, usia tua, dan sebagainya, merupakan beberapa bentuk penyebab kematian seseorang. Kasus kematian ada yang terungkap dan ada yang belum terungkap. Kematian yang belum terungkap dinamakan kematian misterius. Pada kasus kematian misterius inilah bidang forensik memegang peran yang sangat vital.

Kematian misterius dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan sebab-sebabnya. Pertama, kematian misterius karena mayat tidak dapat diidentifikasi, atau biasa dikenal sebagai Mr. X. Kedua, kematian misterius karena penyebab kematian yang belum jelas. Ketiga, kematian misterius dengan penyebab kematian sudah jelas, tetapi belum dapat dipastikan apakah termasuk dalam peristiwa kematian normal, kecelakaan, atau akibat kejahatan. Keempat, kematian misterius dengan latar belakang kasus yang belum jelas, dibunuh atau bunuh diri. Kelima, kematian misterius dengan penyebab kematian yang sudah jelas, tetap motif dan pelakunya belum diketahui. Pada proses investigasi kematian misterius, data antemortem, data perimortem, dan data postmortem memegang peranan vital untuk dapat mengungkap kasus kematian tersebut.

Antemortem. Data antemortem adalah data yang dikumpulkan berdasarkan segala bentuk catatan atas diri korban semasa hidup. Data ini mencakup :

§ ciri fisik, meliputi warna mata, warna rambut, warna kulit, ras/kebangsaan, tinggi badan, berat badan, dan ciri khusus pada anggota tubuh seperti tanda lahir, kemudian juga foto diri, identitas diri, dan sidik jari;

§ riwayat medis, yaitu seluruh catatan yang berhubungan dengan tindakan medis atau laporan medis yang pernah dibuat, seperti riwayat penyakit, catatan operasi bila ada, golongan darah, dan hasil test DNA apabila pernah dibuat;

§ rekaman gigi, yaitu mencakup segala rekaman mengenai riwayat sakit gigi, cetakan gigi bila ada dan pernah dibuat, riwayat pembedahan gigi, dan catatan morfologi gigi semasa hidup. Sayangnya, banyak orang Indonesia belum memiliki rekaman gigi karena jarang atau tidak pernah pergi ke dokter gigi apabila tidak menderita sakit gigi yang parah dan tidak membuat rekaman gigi. Sehingga akan menyulitkan perolehan data ketika terjadi peristiwa darurat yang memerlukan rekaman gigi, seperti untuk keperluan identifikasi jenazah;

§ segala barang milik korban atau yang diduga sebagai milik korban semasa hidup, terutama yang ditemukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara).

Secara umum data antemortem selain digunakan untuk mengidentifikasi jenazah, juga digunakan untuk kepentingan penyelidikan perkara kriminal serta untuk keperluan crosscheck dengan data hasil autopsi pada tahap selanjutnya.

Perimortem. Data perimortem merupakan segala jenis data dan informasi yang diperoleh pada interval waktu sekitar kematian. Data ini mencakup peristiwa apa saja yang berlangsung di sekitar atau menjelang waktu kematian, siapa saja saksi kunci (pihak-pihak yang berada atau diduga kuat berada di TKP pada sekitar waktu kejadian perkara atau yang diduga kuat mengetahui kronologi peristiwa kematian).

Postmortem. Data postmortem merupakan segala macam data dan informasi atas diri korban pasca meninggal dunia dan catatan medis korban pasca meninggal dunia. Data ini dapat diperoleh melalui autopsi, identifikasi rangka, maupun investigasi forensik oleh ahli forensik.

Sebelum melalui tahap autopsi, apabila jenazah belum ditemukan, maka akan diusahakan untuk mengetahui posisi jenazah terlebih dahulu dengan menyisir lokasi-lokasi pada radius tertentu yang diduga kuat merupakan lokasi di mana jenazah berada. Secara kasat mata, terdapat perbedaan mencolok antara kondisi tanah dan morfologi lingkungan dimana lokasi tersebut merupakan titik lokasi di mana jenazah ditanam, apabila dibandingkan dengan kondisi tanah dan lingkungan normal yang tidak terdapat jenazah.

Apabila jenazah masih baru dikubur/ ditanam, maka permukaan tanahnya akan lebih tinggi dari permukaan tanah di sekitarnya. Kontur tanahnya juga tidak terlalu padat. Selain itu warna tanahnya cenderung berbeda dengan warna tanah di sekitarnya. Ini diakibatkan oleh bekas galian. Biasanya kondisi tanah yang seperti itu masih disertai tanda adanya kerusakan vegetasi di sekeliling lokasi tempat jenazah ditanam.

Pada contoh kasus peristiwa kriminal, karena jenazah dikuburkan secara terburu-buru, maka seringkali lubang galian yang dibuat tidak cukup dalam. Ini menyebabkan bau busuk dari proses dekomposisi badan jenazah keluar dari dalam tanah menuju ruang udara di sekitar lokasi penguburan. Selain itu, semakin lama akan terbentuk cekungan pada bagian tengah kuburan akibat dari proses pembusukan isi perut jenazah (dalam hal ini karena proses pembusukan, maka isi perut jenazah perlahan-lahan akan hilang). Tanah kuburan yang cekung ke dalam pada bagian perut jenazah dinamakan lekukan sekunder, dan biasanya dapat ditemukan pada kuburan dengan kedalaman kurang dari 1 meter.

Selain metode di atas, terdapat lima metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya jenazah yang dikuburkan pada suatu areal tanah. Pertama, melalui analisis tanah, yaitu dengan melihat tekstur tanah dan mengukur pH tanah. Pada tanah yang di situ terjadi proses dekomposisi jenazah, maka pH tanah akan cenderung menjadi lebih basa dibandingkan dengan tanah di sekitarnya.  Kedua, dengan mendeteksi adanya gas menggunakan detektor gas. Pada proses pembusukannya, tubuh jenazah akan mengeluarkan berbagai gas seperti H2S yang akan terdeteksi oleh alat detektor. Ketiga, melalui metode probing, yaitu dengan mendeteksi segala bentuk perubahan yang terjadi pada tekstur tanah. Keempat, dengan menggunakan metode deteksi jenazah melalui pengambilan sampel tanah untuk dianalisis kendungan dan komposisi tanahnya. Kelima, menggunakan metode stratigrafi, yaitu dengan cara memperhatikan segala bentuk gangguan yang terjadi pada susunan alami horizon-horizon tanahnya.

Selanjutnya, ketika jenazah sudah ditemukan, maka harus dilakukan penandaan. Apabila bagian-bagian tubuhnya sudah tidak utuh lagi atau sudah tercerai berai, maka penandaan dan pengumpulan dilakukan berdasarkan klasifikasi bagian-bagian tubuh jenazah. Kemudian bagian tubuh atau bagian rangka yang ditemukan diberi label dan penomoran dengan menggunakan tinta China, termasuk juga pengambilan sidik jari apabila masih bisa dilakukan.

Selanjutnya adalah proses autopsi. Autopsi dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian korban serta interval waktu seseorang meninggal dunia. Ketika seseorang sudah meninggal, maka suhu badannya akan menurun sebesar 1˚C setiap jamnya. Sehingga pada interval kematian yang sudah beberapa jam, maka tubuh jenazah akan menjadi kaku. Di sini, terdapat pula suatu tanda yang menunjukkan bahwa seseorang itu sudah meninggal dunia. Tanda ini sering disalahartikan oleh orang awam sebagai sebuah tanda kekerasan. Akibatnya, sering timbul kesalahpahaman karena orang sering menduga bahwa si jenazah mengalami tindakan kekerasan atau penganiayaan sebelum meninggal dunia. Tanda ini biasa dikenal sebagai lebam mayat. Secara normal, apabila seseorang diduga sudah meninggal dunia, kemudian tubuhnya sudah mengeluarkan lebam mayat ini, maka dapat dipastikan 100% bahwa orang tersebut memang benar-benar telah meninggal dunia. Lebam ini berwarna kebiru-biruan, sehingga secara sekilas memiliki morfologi yang mirip dengan lebam akibat luka penganiayaan. Namun, secara medis sangat berbeda. Karena lebam mayat merupakan reaksi normal tubuh manusia setelah mengalami fase kematian. Di sinilah perlunya autopsi forensik untuk mengetahui apakah lebam tersebut berasal dari luka akibat penganiayaan (tindak kriminal) ataukah memang lebam mayat.

Pasca kematian, tubuh jenazah akan mengalami proteolisis (pelarutan protein) dalam badannya. Proses ini disertai dengan proses pembusukan oleh bakteri pada organ-organnya. Pada proses pembusukan, tubuh jenazah akan mengeluarkan gas H2S yang berbau sangat menyengat dan juga merupakan zat manis. Pada proses dekomposisi (penguraian) awal, tubuh jenazah akan memproduksi zat asam yang berasal dari dekomposisi gula dalam badan jenazah yang mulai lengket atau basah. Pada proses dekomposisi lebih lanjut, badan mayat akan memiliki pH yang cenderung basa akibat terurai dan hancurnya jaringan-jaringan albumin dalam badan, sehingga menyebabkan tingginya kandungan zat alkalin (penyebab pH basa).

Zat-zat kimia yang terbentuk pada proses pembusukan jenazah akan mengundang datangnya serangga dan parasit. Karena serangga atau parasit tertentu bereaksi secara spesifik terhadap zat-zat tertentu yang dikeluarkan oleh tubuh jenazah sesuai dengan tahap pembusukannya. Sehingga dengan mengidentifikasi jenis serangga atau parasitnya, maka interval waktu kematian seseorang dapat ditentukan. Namun yang perlu dicatat adalah tahap pembusukan pada jaringan lunak belum tentu dapat dipergunakan untuk menentukan interval waktu kematian seseorang, karena proses pembusukan jenazah juga dipengaruhi oleh faktor alam dan buatan.

Faktor alam yang mempengaruhi proses pembusukan jenazah adalah iklim, serangga, kondisi tanah, serta lokasi/ tempat penguburan. Jenazah akan lebih awet pada kondisi tanah kering dan berpasir dengan pH basa disertai dengan iklim udara yang dingin. Mumifikasi alami akan terjadi pada dua keadaan ekstrem, yaitu jenazah yang berada pada daerah bersalju dengan iklim sangat dingin, serta jenazah yang berada pada daerah padang pasir dengan suhu ekstrem panas. Sebaliknya, jenazah akan cepat rusak apabila berada pada daerah dengan iklim tropis panas dengan kondisi tanah berlempung dan kondisi udara yang lembab.

Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi cepat lambatnya waktu pembusukan jenazah adalah jenis peti mati yang digunakan, ada atau tidaknya pakaian yang menutupi tubuh jenazah, dan ada atau tidaknya proses pembalsaman (mumifikasi buatan).

Autopsi akan mengungkap banyak hal mengenai penyebab kematian serta interval waktu kematian. Sebagai contoh, kematian akibat peristiwa kebakaran akan berbeda hasilnya di tangan ahli forensik karena perbedaan sebab kematian. Kematian yang disebabkan oleh peristiwa kebakaran dari ledakan kompor dan oleh api rumah tangga biasanya tidak akan sampai meloloskan tulang antar sendi, tidak menghancurkan tulang sampai menjadi abu, serta kadang tidak sampai menyebabkan hilangnya rambut pada korban. Ini karena suhu yang tidak terlampau tinggi.

Berbeda halnya dengan kematian akibat ledakan bom atau bahan peledak lain seperti thermite, yang dapat melakukan pembakaran pada suhu mencapai 4000˚F. Pada suhu ini, logam baja dapat dibuat meleleh lebih cepat (tidak sampai hitungan jam). Efek ledakan thermite juga sangat dahsyat karena dapat mengoyakkan struktur rangka baja pada bangunan bertingkat. Apabila ledakan thermite mengenai tubuh manusia, ledakan tersebut dapat menghancurkan seluruh bagian tubuh, termasuk tulang. Sehingga apabila kematian korban disebabkan oleh ledakan thermite atau bahan peledak sejenis lainnya, maka dapat dipastikan bahwa organ-organ tubuhnya akan tercerai berai dan bahkan menjadi abu!

Contoh lainnya, pada kasus jenazah dengan tubuh yang sudah tidak utuh lagi, bisa berbeda sebabnya di tangan ahli forensik. Pada jenazah tidak utuh, misalnya pada kasus jenazah dengan kepala terpenggal akibat ledakan bom atau peristiwa kecelakaan, maka secara morfologi, alur penggalan kepala tersebut tidak teratur, tidak memiliki sudut yang teratur, serta bagian-bagian dagingnya akan cenderung terpotong mengikuti otot atau konstruksi jaringannya. Berbeda halnya pada kasus jenazah dengan kepala terpenggal akibat dilakukan secara sengaja dengan senjata tajam, maka alur penggalannya akan teratur dan memiliki sudut-sudut yang teratur akibat sayatan berulang.

Pada saat data antemortem sudah terkumpul untuk dicocokkan dengan jenazah, maka identifikasi identitas jenazah akan lebih mudah ditetapkan. Selanjutnya, apabila seluruh data postmortem sudah terkumpul dan sudah dianalisis secara akurat, maka penyebab kematian dan interval waktu kematian akan diketahui dengan jelas. Selanjutnya, apabila kedua data, yaitu antemortem dan postmortem digabungkan dengan data perimortem, maka akan diketahui identifikasi identitas jenazah, penyebab kematian, latar belakang  atau motif kasus, dan dugaan mengenai siapa saja yang berkaitan dengan kematian korban. Sehingga, kemungkinan besar kasus kematian yang sebelumnya misterius dapat terungkap menjadi kasus kematian yang bukan misteri lagi.


Referensi :

Ilmu kedokteran Forensik. Balai Penerbit FKUI. 1997. Jakarta


Artikel ini juga dapat dibaca di sini.

Visits: 468

Leave a Reply