Banyak golongan orang kaya yang tertipu dengan harta yang dimilikinya. Allah SWT melapangkan rizqi-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sebagai cobaan dari-Nya apakah ia bersyukur atau tidak. Seperti dalam firman-Nya:

Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ankabut: 62)

Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia (pula) yang menyempitkan (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.” (Q.S. Ar-Rum: 37)

“Milik-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Asy-Syura: 12)

Seorang mukmin yang Allah lapangkan rizkinya, hendaknya mengetahui bahwa di dalam hartanya itu ada hak orang lain yang harus ia tunaikan, baik dalam bentuk zakat fitrah, zakat mal (harta), sedekah, maupun jariyah. Rasulullah SAW bersabda:

Manusia itu terbagi empat macam di dunia ini: Seorang hamba yang Allah berikan kekayaan dan ilmu agama, lalu ia bertaqwa kepada-Nya dengan apa yang ia miliki, senantiasa memberi sanak saudaranya dan mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya itu, maka inilah sebaik-baik derajat manusia. Dan seorang hamba yang Allah berikan ilmu tapi tidak diberikan harta, segala niatnya tulus ikhlas dan dia berkata, ‘Jika aku memiliki harta aku akan melakukan seperti (hamba yang kaya dan berilmu tadi) maka dia diberi pahala sesuai niatnya maka pahala orang kedua itu sama. Dan seorang hamba yang Allah berikan kekayaan, tapi tidak diberikan ilmu pengetahuan, lalu ia merasa bingung dan menghabiskan kekayaannya tanpa berdasarkan ilmu; dia tidak takut kepada Tuhannya berkenaan dengan hal itu, dan tidak memberi sanak saudaranya, juga tidak mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya. Maka inilah seburuk-buruk derajat manusia. Dan seorang hamba yang tidak Allah berikan harta dan pengetahuan, lalu ia berkata, ‘Seandainya aku kaya maka aku akan melakukan ini dan itu (seperti macam manusia yang ketiga). Maka ia akan dinilai berdasarkan niatnya dan beban kejahatan mereka berdua sama.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW tersebut, sebaik-baik derajat manusia adalah orang yang dianugerahi kekayaan dan ilmu agama oleh Allah SWT, kemudian dia bertaqwa kepada Allah SWT (melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya) berkenaan dengan harta yang ia miliki; dia senantiasa memberi sanak saudaranya dan mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya itu. Sedangkan, seburuk-buruk derajat manusia adalah orang yang dianugerahi kekayaan oleh Allah SWT, tapi tidak dianugerahi ilmu agama, sehingga ia menghabiskan kekayaannya dengan cara yang jauh dari tuntunan Agama Islam; dia tidak takut kepada Allah SWT berkenaan dengan harta yang dia miliki, dan tidak memberi sanak saudaranya, juga tidak mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya. Semoga Allah SWT senantiasa menyelamatkan kita dengan rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya, agar kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia dengan seburuk-buruk derajat seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW tersebut.

Berikut ini adalah lima golongan orang kaya yang tertipu karena menggunakan harta yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT dengan cara yang tidak dibenarkan dalam syariat Agama Islam berdasarkan Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali:

Golongan 1: Gemar Beramal untuk Kepopuleran

Golongan orang kaya yang tertipu ini sangat gemar bersedekah dan beramal jariyah pada sesuatu yang tampak sangat jelas di masyarakat, seperti membangun masjid, membangun mushola, membangun panti asuhan, dan lain sebagainya. Tetapi, dalam hatinya terbersit niat dan keinginan agar namanya dikenang dan diabadikan. Contoh: Bahlul bin Riya’ membangun sebuah masjid dengan harapan agar namanya diabadikan menjadi nama masjid yang dia bangun, misalnya, Masjid Bahlul bin Riya’. Dengan demikian namanya akan selalu dikenang dan diingat oleh masyarakat sebagai orang yang membangun masjid itu.

Firman Allah SWT: “Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya’, dan enggan memberikan bantuan.” (Q.S. Al-Ma’un: 4 – 7)

Golongan orang kaya yang tertipu ini dalam berbuat amal memiliki niat dan keinginan agar tabiat kedermawanan dan kegemarannya bersedekah banyak disebut-sebut orang sehingga dikenal di mana-mana. Dia berharap mendapatkan kepopuleran di masyarakat sebagai orang yang gemar bersedekah dan beramal jariyah. Banyak sekali cara yang digunakan oleh golongan ini untuk mempopulerkan dirinya agar dikenal sebagai ahli sedekah dan amal jariyah, antara lain, minta difoto bersama dengan bangunan ibadah hasil amal jariyahnya, minta difoto bersama hewan qurban yang akan diqurbankannya, minta difoto bersama dengan kaum fakir miskin yang dibantunya, kemudian dipublikasikan dengan alasan untuk memberi contoh kepada muslim lain agar mengikuti jejaknya bersedekah atau beramal jariyah. Padahal kita sebagai mukmin tahu bahwa ketika amal ditampakkan, maka selalu ada kemungkinan berjangkitnya penyakit hati, yaitu riya’ (riya’ tergolong kepada syirik kecil).

Allah SWT berfirman: “Dan apapun infaq yang kamu berikan atau nadzar yang kamu janjkan maka sungguh, Allah mengetahuinya. Dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun. Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu1), maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 270 – 271)

Allah SWT telah menerangkan bahwa menyembunyikan sedekah itu lebih baik daripada menampakkannya, karena manusia akan lebih selamat dari hal-hal yang dapat merusak pahala sedekah, yaitu sikap riya’ (pamer). Sebab kecenderungan manusia adalah merasa senang apabila orang lain mengetahui kebaikan-kebaikan dirinya. Kecenderungan inilah yang merupakan bibit-bibit riya’. Maka apakah kita benar-benar yakin bahwa pada saat kita menampakkan amal kebaikan kita, maka kecenderungan adanya perasaan senang karena orang lain mengetahui kebaikan kita itu bukanlah termasuk riya’? Padahal, rasa hati merasa gembira dan senang ketika orang lain mengetahui kebaikan kita, itu termasuk ke dalam kategori riya’ yang samar.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, yang amat kutakuti dari segala hal yang kutakuti atasmu semua itu adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?”. Beliau SAW menjawab: “Yaitu riya’ (pamer).”Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, yaitu di waktu seluruh hamba melihat hasil amalan-amalannya: “Pergilah kamu semua kepada apa yang kamu jadikan bahan pamer (riya’) di dunia. Lihatlah apakah kamu semua memperoleh balasan dari mereka itu?” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Golongan 2: Bersedekah dengan Berharap Sanjungan, Pujian, dan Penghormatan

Golongan orang kaya yang tertipu ini gemar bersedekah kepada fakir miskin, baik berupa uang, makanan, dan pakaian. Tetapi dalam bersedekah, golongan ini meminta kaum fakir miskin yang akan dia beri sedekah untuk berkumpul di masjid, atau tempat-tempat publik lainnya dengan niat agar kaum fakir miskin itu  menyatakan rasa terima kasih kepadanya secara beramai-ramai. Dan orang-orang yang telah dia beri sedekah itu akan menyiarkan amalnya kemana-mana. Apabila ada fakir miskin yang telah menerima sedekahnya, kemudian orang fakir itu diam saja dan tidak menyiarkannya, yaitu tidak memberitahukan kepada masyarakat bahwa dia telah menerima sedekah dari orang golongan 2 ini, maka dia merasa kecewa karena kebaikannya tidak diketahui orang-orang. Inilah golongan orang kaya yang tertipu dengan sedekahnya karena terjangkit penyakit riya’. Maka sia-sialah amal sedekah yang dilakukannya.

Golongan 3: Orang Kaya yang Mengganti Kewajiban Sedekah dengan Ibadah Lain

Golongan orang kaya yang tertipu ini disebut orang yang bakhil alias kikir alias pelit, yaitu golongan orang kaya atau berharta yang terus bekerja untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, kemudian menyimpannya sampai harta itu menumpuk, tetapi tidak dibelanjakan di jalan Allah melalui zakat, sedekah, maupun amal jariyah. Sehingga, untuk mengganti tabiat pelit, kikir bin bakhil-nya, mereka kemudian memperbanyak amalan-amalan ibadah jasmaniah yang sama sekali tidak membutuhkan pengeluaran harta sedikit pun. Misalnya, rajin berpuasa di siang hari, rajin mengerjakan ibadah sholat sunnat di malam hari, rajin mengkhatamkan Al-Qur’an, rajin berwirid dzikir, dan lain sebagainya untuk menggantikan kewajiban ibadah dengan cara mengeluarkan harta. Dia berharap bahwa kewajiban ibadah dengan mengeluarkan harta (seperti berzakat fitrah, zakat harta, sedekah, infaq, qurban, dan jariyah) dapat digantikan dengan ibadah lainnya yang tidak membuatnya mengeluarkan harta bendanya. Golongan kaya yang tertipu ini menyangka bahwa dengan amalan-amalan jasmaniahnya itu, sudah cukup untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah SWT, walaupun tanpa mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, qurban, dan amal jariyah dari hartanya.

Padahal perintah berzakat dan bersedekah (memberi pinjaman yang baik kepada Allah SWT) merupakan perintah yang utama setelah melaksanakan shalat, seperti dalam firman Allah SWT: “…maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik” (Q.S. Al-Muzzammil: 20)

Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa ada seorang kaya raya yang tidak pernah bersedekah, tetapi dia memperbanyak amalan puasa dan shalat-shalat sunat. Bisyr pun berkata, “Alangkah kasihannya orang itu. Ia melalaikan apa yang seharusnya dilaksanakannya.”2)

Firman Allah SWT: “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya3), dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah. Dan tahukah kamu apakah (neraka) Huthamah itu? (Yaitu) api (adzab) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Q.S. Al-Humazah: 1 – 9)

Golongan 4: Orang Kikir yang Bersedekah dengan Barang Berkualitas Buruk

Golongan orang kaya yang tertipu ini hampir sama kikirnya dengan golongan yang ketiga di atas. Dia hanya bersedia membelanjakan hartanya di jalan Allah untuk urusan yang wajib-wajib saja seperti sekedar untuk zakat. Walaupun demikian, yang dikeluarkannya sekedar untuk zakat itu adalah yang berkualitas buruk saja, yang tidak disukai olehnya, atau yang bekas-bekas saja. Misalnya, beras yang dipakai untuk berzakat fitrah adalah beras bermutu buruk yang dia sendiri tidak akan mau memakannya.

Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah: 267)

Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun.” (Q.S. At-Taghabun: 16 – 17)

Golongan orang kaya yang tertipu ini dalam memberi hanya akan memilih fakir miskin yang dapat diambil manfaat tenaganya saja, atau yang dapat dia perintah untuk melakukan urusan dan kepentingannya. Pendek kata, golongan kikir keempat ini tidak senang membelanjakan harta di jalan Allah, kecuali hanya sekedar yang wajib-wajib saja seperti zakat, itupun diambil dari yang kualitasnya buruk-buruk, dan diberikan tidak secara ikhlas, tetapi berpamrih, agar orang yang diberi itu bisa diperintah atau dimanfaatkan tenaganya di kemudian hari.

Kalaupun golongan orang kaya yang tertipu ini membelanjakan hartanya yang berkualitas baik, maka penerima pemberiannya itu biasanya adalah para pembesar atau penguasa yang dapat menolong kepentingannya, atau penguasa yang dia takuti. Tujuannya agar pembesar atau penguasa itu senang dan ridha kepada dirinya, serta memandang istimewa kepada dirinya.

Golongan kikir ini telah tertipu sebab dia menyangka bahwa perbuatannya itu telah benar-benar sebuah bentuk perbuatan taat kepada perintah Allah SWT. Padahal, sesungguhnya ibadahnya itu merupakan ibadah yang curang sebab pada hakikatnya dia tidak mengharap pahala dari Allah SWT, tetapi mengharap adanya balasan penggantian dari sesama makhluk atas pemberiannya kepada mereka.

Golongan 5: Orang Kikir yang Gemar Menghadiri Pengajian dan Majelis Dzikir

Golongan orang kaya yang tertipu ini gemar sekali mendatangi majelis pengajian untuk mendengarkan nasihat agama, renungan, dan sebagainya. Dia menyangka bahwa cukup hanya dengan mendatangi banyak majelis pengajian, mendengarkan berbagai nasehat dan petunjuk kebaikan agama, kemudian berurai air mata mendengar renungan siksa dan adzab, tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak mempraktekkan perintah berzakat, berinfaq dan sedekah, maka itu sudah cukup baginya sehingga dia merasa tidak perlu lagi melaksanakan zakat, sedekah, jariyah. Golongan ini mengira bahwa hanya dengan rajin datang mendengarkan nasihat agama yang tanpa direnungkan isinya dan tanpa diamalkan dalam perbuatan nyata, itu sudah cukup, dan dia mendapat pahalanya tanpa mengamalkannya.

Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan penggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (Q.S. At-Taubah: 34 – 35)

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir. Barangsiapa berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah, Dia Mahakaya dan Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Hadid: 23 – 24)

Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa. Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk, dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia itu. Maka, Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan(dirinya),” (Q.S. Al-Lail: 5 – 18)


Catatan Kaki :

1) Menampakkan sedekah dengan tujuan agar dicontoh oleh orang lain dan bukan untuk riya’ (catatan kaki no. 104 Mushaf Aljamil, terjemahan Al-Qur’an, hal. 46)

2) Lihat: Mau’izhatul Mukminin (Ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin) Karya Imam Al-Ghazali hal. 846

3) Mengumpulkan harta dan menghitung-hitung harta yang menyebabkan dia menjadi kikir dan tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah (catatan kaki no. 924 Mushaf Aljamil, terjemahan Al-Quran, hal. 601)


Referensi :

Addimasyqi, Muhammad Jamaluddin Alqasimi (penyusun). Tidak Bertahun. Mau’izhatul Mukminin (Ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin) Karya Imam Al-Ghazali. Penerbit Al-Maktabah At-tijjariyah Al-Kubro.

Visits: 3606

Leave a Reply