Artikel yang saya tulis kali ini TIDAK berdasarkan teori para pakar media sosial, tidak pula berdasarkan teori para ahli psikologi. Artikel ini hanya berisi analisis saya dalam kapasitas saya sebagai orang awam yang pernah menggunakan media sosial beberapa tahun yang lalu. Sumber data artikel ini diambil dari diri saya sendiri, apa yang saya rasakan, serta apa yang saya ketahui.

Beberapa waktu terakhir ini saya sering ditanya oleh teman-teman saya yang berasal dari golongan interaksi sosial saya di dunia nyata. Salah empat-nya :


Teman 1 : “Kamu punya fb ga? Add aku dong.”

Saya       : “Fb-ku ya yang dulu itu, yang sudah lama aku de-aktifkan itu.”

Teman 1 : “Aktifin lagi napa? Biar kita bisa ngobrol lagi, silaturrahmi lagi.”

Saya       : “Lha ini kita ‘kan sudah ngobrol. Sudah silaturrahmi ‘kan?”


Teman 2 : “Akun twittermu apa namanya?”

Saya       : “Gak punya.”

Teman 2 : “Aduh. Gimana sih kamu? Kita bisa follow memfollow orang lho. Masak jaman gini kagak punya twitter. Gak asik ah dirimu.”

Saya       : “Gak. Aku lebih suka sms sama nelpon aja. Daripada ngetik cuman dibatasi 140karakter. Aku kan demennya nulis sama ngobrol panjang lebar. Lagipula ngapain akufollow memfollow orang yang gak kukenal. Kalau mau tahu berita terkini, aku sudah punya eyang Gugel kok, lebih enak bacanya, tulisannya lengkap, gak se-imit-imit.”


Teman 3 : “Akun Path-mu apaan?”

Saya       : “Gak punya. Aku gak nginstall aplikasi path.”

Teman 3 : “Trus hp kamu buat apaan ajah?”

Saya       : “Buat sms-an, telpon-telponan sama sahabat dan keluarga, nerima telpon dari orang yang minta aku buat nulis sama nge-desain, trus browsing internet buat nambah ilmu baru, buka dan balesin e-mail, sama kadang-kadang buat buka dan nulis di  Kompasiana.”


Teman 4 : “Eh liat instagram aku dong.”

Saya       : “Gak ada instagram diriku.”

Teman 4 : “Nape lu kagak bikin akun instagram. Asyik tau, bisa aplot poto-poto wista kulineran ame hasil jalan-jalan kita ke Yurop trus dikomentari.”

Saya       : “Iya itu dirimu, kau ngaplot-nya Beef Bourguignon ame Crème Brulee. La kalau daku, yang diaplot pasti sambel pecel kiriman emak dari kampung, ‘kan itu yang paling indah buat diriku. Orang udah biasa kali lihat sambel pecel, gak ada yang istimewa. Mending daku aplot tulisan daku ajah, kali-kali ada job nulis buatku, mayan buat nambahin celengan.”


Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya menganalisis diri saya sendiri mengapa saya tidak menggunakan media-media sosial tersebut.

Lebih dari satu dekade yang lalu (sekitar 12 tahun yang lalu), ketika sedang demam-demamnya media sosial yang bernama Friendster, saya yang pada saat itu masih menjadi seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan perdesainan sebuah PTN di kota B ikut terkena demamnya. Berhubung sedang punya banyak waktu kosong karena belum mendapat ide (baca: malas) mengerjakan skripsi, maka saya pun ikut membuka akun di media sosial tersebut. Saya sangat gembira karena pada saat itu saya mendapat banyak teman virtual dari berbagai penjuru dunia, diskusi ringan berbagai topik sambil latihan menulis dalam bahasa asing menjadi motivasi saya. Lama kelamaan saya bosan. Lalu saya pun meninggalkan friendster dan beralih ke media sosial lain yang lebih menarik minat saya, yaitu Penpals. Saya pun sempat aktif setiap hari di sana selama sekitar setahun. Banyak sekali manfaat yang saya dapat kala itu, yaitu memiliki teman-teman virtual dari berbagai belahan dunia, kemampuan menulis saya dalam Bahasa Inggris juga sedikit mengalami peningkatan, dan saya pun mendapatkan banyak pengetahuan baru mengenai budaya teman-teman dari berbagai belahan dunia yang menjadi sahabat virtual saya, serta saya akhirnya juga memiliki sedikit pengalaman menjadi tutor online untuk teman-teman yang ingin belajar Bahasa Indonesia. Sampai kemudian Penpals tidak lagi murni berisi teman-teman yang ingin bertukar pengetahuan bahasa dan budaya. Mulai masuknya orang-orang yang ingin berkenalan, kemudian menebar rayuan dan pujian setinggi gunung padahal belum pernah bertemu sama sekali, membuat saya akhirnya meninggalkan Penpals.

Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2008, saya pun berkenalan dengan media sosial yang bernama Facebook. Saat itu, tampilannya menurut penilaian saya masih sangat sederhana, fiturnya juga masih sangat terbatas, masih kalah kalau dibandingkan dengan tampilan friendster yang sangat ramai dan semarak. Tapi, saya coba juga. Sangat menarik. Saya bisa terhubung dengan teman-teman saya sewaktu saya masih bersekolah, berkuliah, atau kost dahulu. Tanya-tanya kabar berita, berbagi info, saling curhat via inbox. Kemudian karena kesibukan, saya tidak pernah lagi membuka facebook. Suatu hari, iseng-iseng saya buka facebook. Tampilan sudah banyak berubah, banyak fitur-fitur baru yang sudah ditambahkan. Tapi yang paling berubah menurut saya adalah suasana pertemanannya. Kalau dulu status-status yang beredar di wall rata-rata berisi hal-hal menarik yang menyenangkan, misalnya, pengumuman undangan reuni, berbagi momen-momen nostalgia lucu sewaktu masih sekolah, dan sejenisnya.

Tetapi waktu saya membukanya lagi, lho kok!? Status-status yang bertebaran di wall adalah curahan kegalauan hati, cerita pertengkaran dengan suami, cerita sedang curiga dengan istri, cerita tentang keluh kesah hampir setiap waktu, cerita berantem dengan atasan, cerita sedang tidak enak hati dengan si A si B si C, cerita sedang kesal dengan seseorang, cerita tentang kecemburuan, status sinis menanggapi berita kemajuan seseorang, dan sebagainya. Dan itu semua bisa diakses oleh siapapun yang menjadi teman (entah kenal entah tidak di dunia nyata). Bagi saya pribadi, tidak etis rasanya membawa masalah pribadi ke ruang publik, tidak tepat rasanya menceritakan masalah kejelekan pasangannya kepada publik, tidak pada tempatnya pula rasanya menceritakan keluh kesah dan masalah pribadi di ranah publik (karena bukannya menjernihkan masalah dan mendapat penyelesaian, yang ada malah akan memperkeruh masalah), kenapa tidak dibicarakan baik-baik di secara langsung? Kenapa harus bertengkar di media sosial? Atau, bisa juga mengadukan kegalauan hati sambil bermunajat kepada Tuhan, memohon petunjuk penyelesaian masalah, karena Tuhan-lah yang menjadikan masalah kepada hamba-Nya sebagai ujian, maka Dia pula lah yang berkuasa untuk menghilangkannya. Ditambah lagi, tidak setiap orang bisa merasa senang dan bisa menikmati suasana pertunjukan pertengkaran dan konflik orang lain. Saya pikir, tidak ada manfaatnya kalau saya mengetahui konflik-konflik pribadi tersebut. Dan kalau pun saya tidak tahu masalah dan konflik-konflik pribadi itu, tidak membuat saya rugi juga. Akhirnya saya pun memutuskan untuk meninggalkan facebook.

Pada dasarnya saya senang berinteraksi di media sosial, kalau memang itu ada manfaatnya untuk saya dan bisa semakin membuka cakrawala saya. Contoh: berinteraksi di Kompasiana dengan para penulis senior maupun yang masih baru, membaca tulisan-tulisan mereka sehingga saya menyerap banyak ilmu yang sangat berguna untuk keterampilan menulis saya, dan mendapatkan beragam wawasan baru dengan membaca tulisan-tulisan mereka.

Berteman di dunia nyata dengan teman-teman yang nyata menurut saya lebih efektif untuk memupuk kualitas persahabatan. Sebab yang seringkali terjadi adalah teman dan sahabat yang sangat akrab dan baik di dunia maya belum tentu demikian di dunia nyata. Saya beberapa kali menjumpai hal-hal seperti ini. Saya memiliki beberapa teman zaman kecil dahulu yang sangat akrab di dunia maya, kami sering bertukar cerita dan berbagi kenangan masa-masa lucu saat masih kanak-kanak. Namun, ketika saya bertemu di dunia nyata pada suatu waktu ketika saya mudik lebaran, ekspektasi saya terhadap pertemuan itu ternyata tidak sesuai dengan realitas. Pada saat bertemu, perbincangan kelihatan sangat canggung, seperti berada di antara orang-orang tidak terlalu saling mengenal.

Hal berbeda yang juga beberapa kali saya temui adalah teman-teman dari dunia nyata yang juga menjadi teman virtual saya di facebook, yang hampir tidak pernah menyambangi wall saya, tidak pernah berkomentar apapun dalam postingan status saya, juga jarang sekali berkomunikasi melalui inbox ketika bertemu di dunia nyata malah sangat akrab. Kami saling ber-haha hihi, dan bertukar cerita seputar kehidupan dan kegiatan kami. Ketika saya menanyakan kenapa dia jarang berkomentar di status orang atau hanya sekedar me-like status atau foto orang, dia menjawab bahwa dia tidak memang jarang membuka Facebook-nya, dan lebih suka langsung menelepon atau ber-skype ria.

Sehingga media sosial dalam pandangan saya bisa mengubah tampilan kepribadian seseorang. Seseorang yang introvert dan canggung dalam interaksi sosial di dunia nyata, bisa menjadi seorang yang ekstrovert dan sangat supel dalam interaksi sosial di dunia maya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sangat introvert dan anti sosial dalam interaksi di dunia maya, bisa jadi adalah seorang yang sangat supel dan terbuka apa adanya dalam interaksi sosial di dunia nyata. Dunia maya dalam pandangan saya adalah sarana yang bagus untuk sharing and connecting segala sesuatu yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Sementara dalam lingkup interaksi sosial, saya pribadi lebih senang berinteraksi di dunia nyata.


Artikel ini juga dapat dibaca di sini.

Visits: 309

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.