wedding-558470_640

Artikel yang saya tulis kali ini sama seperti artikel saya sebelumnya, Sabda Nabi Muhammad SAW Berkenaan dengan Bangunan Kuburan, Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Agama Islam, dan Muslim yang Meninggal Dunia karena Tenggelam di Perairan dalam Pandangan Islam, yaitu BUKAN OPINI SAYA. Karena saya tidak berani beropini dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya merupakan kutipan dari Kitab Hadits (sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran), Kitab Fiqh (kitab Hukum Islam), dan beberapa kitab penjelasnya yang menerangkan perihal Hukum Pernikahan dalam Agama Islam.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai Hukum Pernikahan dalam Islam, saya akan memberikan sedikit pendahuluan ringan berupa pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

“Kapan kamu menikah? Ayo, cepat-cepat menikah sana, nanti keburu tua lho.”

“Kenapa sih lama-lama? Tidak usah terlalu banyak mikir, tidak usah terlalu banyak kriteria, nanti keburu kadaluarsa lho.”

“Pendidikan sudah tinggi, kerjaan sudah mapan, karir sudah mantap, penghasilan sudah tinggi, rumah sudah punya, usia sudah cukup, apalagi sih yang kamu cari? Apa kamu tidak ingin seperti aku? Anakku sudah lima lho.”

Para lajang pasti sering mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam pergaulan sosial. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat wajar. Karena secara umum, pernikahan memang menjadi salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Lahir, tumbuh besar, bersekolah, dewasa, bekerja, menikah, berketurunan, menjadi tua, kemudian meninggal dunia, demikianlah siklus hidup sebagian umat manusia. Sehingga seringkali orang-orang yang telah mencapai usia dewasa dan belum menikah, pasti akan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Maka, yang sering terjadi kemudian adalah para lajang itu terburu-buru ingin menikah karena tidak tahan ditanya-tanya terus. Sehingga dasar mereka menikah adalah karena tuntutan masyarakat. Atau, adakalanya mereka ingin segera menikah lantaran takut keburu tua (baca: menopause) sehingga khawatir tidak memiliki kesempatan lagi memiliki keturunan, akibatnya kriteria-kriteria penting yang sebelumnya menjadi patokannya sudah tidak penting lagi. Atau, acapkali terburu-buru menikah karena takut tidak mendapatkan jodoh kalau keburu tua, sehingga kurang mempertimbangkan siapa orang yang dinikahi, bahkan sampai bersedia dipoligami (padahal pada sebagian besar poligami, di situ pasti ada pihak yang merasa terdzalimi dan tersakiti).

Rasullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud“Barangsiapa memberi karena Allah, menolak kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya.”

Dalam hadist tersebut, Rasulullah mendefinisikan kesempurnaan iman seorang mukmin dalam masalah perkawinan adalah ketika seorang mukmin itu menikah hanya karena Allah SWT. Rasulullah SAW TIDAK menyebutkan perihal menikah karena takut gunjingan orang, menikah karena takut keburu tua, ataupun menikah karena takut tidak mendapat jodoh. Rasulullah SAW hanya menyabdakan untuk MENIKAH KARENA ALLAH, bukan yang lain-lain. Sehingga menikah dengan alasan-alasan selain Allah SWT tersebut sebenarnya malah TIDAK menuju kepada usaha untuk menyempurnakan iman. Hanya di mata manusia saja ia terlihat sudah menyempurnakan iman.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai Hukum Pernikahan dalam Islam berdasarkan Kitab Fiqh.

HUKUM ASAL NIKAH (dalam Agama Islam) adalah JAIZ/mubah (artinya, BOLEH), sehingga bukan wajib.

Secara keseluruhan, hukum nikah dalam Islam ada 5 (lima) :

  1. Jaiz atau mubah (diperbolehkan, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, bagi mereka yang tidak terdesak oleh syahwat). Ini adalah hukum asalnya.
  2. Sunat, artinya: kalau dikerjakan (sesuai dengan syariat Islam) mendapat pahala, kalau ditinggalkan tidak berdosa, sehingga lebih utama untuk dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang sudah berkehendak/ berkeinginan menikah dan sudah mampu (dalam hal nafkah dan lain-lain).
  3. Wajib, artinya harus dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang sudah cukup/ mampu dalam hal nafkah dan lain-lain serta takut akan tergoda pada kejahatan zina.
  4. Makruh, artinya lebih baik tidak dikerjakan. Hukum ini berlaku bagi orang yang belum mampu memberi nafkah, walaupun ia sudah ingin menikah. Golongan ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa berdasarkan hadits Nabi SAW : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”(HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
  5. Haram, artinya tidak boleh dikerjakan (berdosa kalau dikerjakan). Hukum ini berlaku bagi orang yang berniat menikah untuk menyakiti orang yang dinikahi, misalnya karena dendam, sakit hati, dll; berniat untuk merampas harta orang yang dinikahi; dan niat-niat lain yang dilarang menurut syariat Islam; serta bagi orang yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab sehingga dikhawatirkan akan menelantarkan keluarganya.

Allah SWT berfirman:“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32).

Ayat di atas bukan berarti orang yang miskin begitu ia menikah lantas ia menjadi mampu/kaya. Kalau demikian, maka Islam pasti akan mewajibkan orang yang miskin untuk menikah, dan manusia pun tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan bagaimana solusi mengatasi kemiskinan, karena cukup dengan menikah maka orang yang miskin akan menjadi mampu. Kenyataannya, dalam Islam, hukum menikah bagi orang yang belum mampu memberi nafkah (walaupun sudah ingin menikah) adalah makruh.

Manusia harus ingat bahwa ia belum tinggal di alam akhirat (syurga) yang merupakan alam pembalasan, di mana ketika manusia menginginkan apapun di dalam syurga, maka saat itu juga Allah SWT berfirman “Kun Fayakun! (Jadilah! Maka, jadilah ia.)”, dan terkabullah segala keinginannya saat itu juga. Manusia sekarang masih menjalani fase hidup di dunia, di alam ikhtiar agar bisa memetik balasan di alam pembalasan (akhirat) kelak, sehingga ia pun terkena hukum sebab-akibat, ada ikhtiar maka ada hasil.

Selama manusia hidup di dunia ini, ia tidak akan bisa terlepas dari hukum dunia ini, yaitu hukum sebab akibat, dan manusia diwajibkan untuk berikhtiar. Seorang miskin yang akan dimampukan oleh Allah SWT melalui pernikahan, akan memiliki tanda-tandanya yaitu sudah ada ikhtiar, misalnya sudah memiliki pekerjaan, mampu mencari nafkah dan sudah ada sumber nafkah. Bukan miskin yang tanpa ada tanda-tanda ikhtiar (misalnya: tidak punya pekerjaan dan malas mencari kerja) lantas bisa menjadi mampu hanya dengan menikah.

Dalam ayat selanjutnya pun Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang belum mampu menikah hendaklah menjaga kehormatan dirinya, hingga Allah memberinya kemampuan dengan limpahan karumia-Nya…”(Q.S An-Nur: 33)


Lalu, bagaimanakah hukum seorang wanita mukmin yang belum sempat menikah sampai ia meninggal dunia? (Saya menyebut wanita karena yang disebutkan dalam hadist Nabi SAW yang menerangkan mengenai masalah ini adalah wanita.)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a, bahwasanya ada seorang sahabat yang datang menghadap Rasulullah SAW  bersama putrinya.

Ia mengadu kepada Rasulullah SAW, “Putriku ini menolak untuk menikah.”

Rasulullah SAW kemudian menasehati, “Taatilah bapakmu.”

Si anak gadis itu kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah sampai anda beritahukan kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?”. Si wanita itupun lantas mengulang-ulangi lagi pertanyaannya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya adalah bahwa andaikan ada luka di badan suami, kemudian istri itu menjilati luka itu, maka istri itu belum memenuhi seluruh haknya.”

Setelah mendengar sabda Rasulullah SAW, si gadis berkata” Demi Dzat yang mengutus anda dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”

Lalu Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka. (HR. Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam Sunannya 3571. Hadist ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)

Berdasarkan hadist tersebut, Rasulullah SAW tidak menyalahkan perkataan si gadis itu yang bersumpah tidak akan menikah selamanya. Rasulullah SAW kemudian memerintahkan kepada ayah si gadis agartidak menikahkan putrinya tanpa persetujuan dari sang anak. Artinya, prinsip seperti itu bagi wanita (dalam Islam) tidak bertentangan dengan syariat. Sehingga kalau pada akhirnya sampai ia meninggal dunia, ia tidak sempat menikah, maka tidak ada dosa baginya. Yang disebutkan di sini adalah wanita. Sedangkan mengenai pria, tidak ada keterangan atau hadits yang membolehkan hal seperti ini.


Ketika seorang mukmin belum memutuskan menjalani pernikahan karena Allah SWT, misalnya karena ia tidak yakin dengan akhlak (budi pekerti) orang yang akan dinikahinya sehingga khawatir kalau orang itutidak dapat membawa dirinya menjadi lebih dekat dengan Allah, khawatir kalau kehidupan pernikahannya justru akan membuatnya jauh dari Allah karena keburukan akhlak pasangannya, maka ia tidak perlu khawatir, karena Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa memberi karena Allah, menolak kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (HR Abu Daud). Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, kecuali Allah akan memberimu yang lebih baik daripadanya. (HR. Ahmad, 5/363 dengan sanad shahih, Al-Baihaqi, 5/335, Waki’ dalam Az-Zuhd serta Al-Qadha’i dalam Musnad-nya). Dalam sebuah atsar lainnya juga disebutkan, “Tidaklah seorang hamba meninggalkan sesuatu karena Allah, tidaklah ia tinggalkan kecuali karena-Nya, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya dalam hal agama maupun dunianya. (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2/196).

Jangan sampai kehidupan pernikahan yang diharapkan akan menyempurnakan iman, justru malah membuat semakin jauh dari Allah SWT. Contohnya: suami melarang istrinya berhijab; istri melarang suaminya bersedekah/beramal jariyah dengan alasan masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting; sering bertengkar sehingga waktunya hanya disibukkan oleh caci maki dan saling benci sampai ibadahnya keteteran dan anak-anaknya terlantar; kemudian saling curiga sehingga sering berprasangka buruk (padahal prasangka itu adalah dosa); dan sejenisnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang mukmin yang memang berniat menikah hanya karena Allah SWT untuk meneliti calon suami/ istrinya sebelum memutuskan untuk menikah agar tujuan pernikahan untuk menyempurnakan keimanan dan beribadah kepada Allah SWT dapat tercapai. Karena manusia diciptakan tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT.  Allah SWT berfirman:

وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Sehingga apapun bentuk perbuatannya, apakah itu menuntut ilmu, bekerja, menikah, membina keluarga, berpakaian, berbicara, dan sebagainya haruslah bernilai ibadah dan untuk beribadah kepada Allah SWT semata.

Kalau hukum nikah dalam Islam itu wajib, maka Allah SWT tentu tidak akan membuat pilihan apapun untuk hamba-Nya. Apapun resiko pernikahan itu, entah berakhir di syurga atau neraka, entah bisa menyempurnakan iman atau justru malah bisa menjauhkan seorang hamba dari Allah SWT, tentu setiap muslim wajib (harus) menikah. Akan tetapi, pernikahan dalam Islam hukumnya adalah jaiz/mubah (boleh). Karena memang tujuan pernikahan adalah untuk menyempurnakan iman, beribadah kepada Allah SWT. Sehingga ketika seorang mukmin khawatir kalau pernikahannya justru dapat menjauhkan dirinya dari Allah SWT (misalnya: karena khawatir akan terpengaruh oleh akhlak buruk calon suami/istrinya yang tidak sesuai dengan syariat Islam, dan sejenisnya), maka ia boleh untuk tidak menikahinya.

Akan tetapi, ketika orang yang akan dinikahi tersebut sudah tidak diragukan lagi akhlak (budi pekertinya), dalam artian akhlaknya sudah diketahui baik; budi pekertinya bagus; kemudian agamanya baik, dalam arti ia telah diketahui mengamalkan agamanya dengan lurus melalui lisan sekaligus perbuatannya (tanpa ada tanda-tanda riya’, karena riya’ juga termasuk salah satu contoh akhlak yang buruk); mampu untuk memberi nafkah dengan baik; dan memiliki nasab (garis keturunan) yang baik pula; sehingga dimungkinkan bahwa pernikahan itu memang akan menjadi penyempurna keimanan kepada Allah SWT dan malah bisa memperkuat ibadahnya kepada Allah SWT, maka menikah adalah lebih utama daripada melajang.

Dalam syariat Islam sendiri tidak dikenal cara kehidupan membujang dengan niat hidup selibat (seperti yang lazim dilakukan oleh para rahib), yaitu hidup membujang untuk menjauhkan diri dari keduniawian (seperti nafsu syahwat, dan sejenisnya). Islam sudah mengatur, bahwa bagi orang yang khawatir tidak bisa menjaga syahwatnya dan sudah mampu menafkahi, ia wajib untuk menikah. Sedangkan bagi yang belum mampu menafkahi, diperintahkan untuk berpuasa.

Sehingga seorang mukmin tidak boleh menolak pernikahan kalau niatnya adalah untuk hidup selibat. Ketika ia memutuskan untuk menolak sebuah pernikahan, hendaknya hal tersebut dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Dan ketika ia memutuskan untuk menikah, hendaknya hal tersebut juga dilakukan semata-mata hanya karena Allah SWT. 

Wallahu a’lam bishawab (hanya Allah Mahatahu yang benar).


Literatur :

Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap) Cetakan ke-20. Penerbit Sinar Baru. Bandung.

Bahreisj, Hussein. 1987. Al-Jamius Shahih (Hadits Shahih Bukhari – Muslim). Penerbit Karya Utama. Surabaya.

Tarjamah Bulughul Maram (Ibnu Hajr Al ‘Asqalani) Bab Kitab Nikah hal. 524.

www.konsultasisyariah.com


Artikel ini juga dapat dibaca di sini.

Visits: 298

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.