Alkisah, pada suatu siang yang terik, di tengah sebuah gurun pasir yang sangat luas, seorang laki-laki kurus dengan jubah kumal dan wajah berdebu terlihat sedang berjalan terseok-seok sambil membawa sebuah cawan air yang sudah kosong. Tenaganya yang tersisa sudah hampir habis. Ia membayangkan makanan dan minuman lezat-lezat yang melimpah ruah, yang senantiasa tersaji di rumahnya. Ia pun menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian mengedarkan pandangannya yang sudah berkunang-kunang ke segenap penjuru gurun, berharap menemukan sebuah oase agar dirinya bisa meminum seteguk air untuk menghilangkan dahaganya. Namun, sejauh matanya memandang, yang dijumpainya hanyalah hamparan gurun pasir kering yang terik.

“Aduhai, malangnya diriku ini. Andai saja sekarang ini ada orang yang menjual sesuap makanan dan seteguk air saja, pasti akan aku beli walau berapapun harganya. Aku punya banyak dinar dan dirham di dalam kantongku ini.”, ratapnya sambil meraba kantong uang yang terikat di pinggangnya.

Laki-laki itu terus berusaha berjalan dengan semakin terseok-seok sempoyongan. Pada saat itulah pandangannya menangkap sekerlip cahaya putih berkilauan. Ia begitu gembira sebab ia tahu pasti bahwa kerlip putih berkilauan itu berasal dari pantulan air.

“Oh, syukurlah! Akhirnya aku menemukan seteguk air!”, serunya dengan hati riang gembira seraya bergegas berjalan ke arah sumber kerlip putih itu.

“Semoga saja airnya banyak sehingga dapat menghilangkan dahagaku ini, dan sebagian bisa kusimpan di dalam cawan airku ini, sehingga aku bisa melanjutkan perjalananku untuk kembali pulang ke rumah.”

Sesampainya ia di tempat yang dilihatnya tadi, tubuh kurusnya terlihat lunglai. Ia tampak sudah berputus asa karena kerlip cahaya putih berkilauan yang disangkanya berasal dari pantulan bayangan air, ternyata berasal dari kilau sebutir berlian besar.

Ia menyadari bahwa nilai sebuah benda itu tidak terletak pada keindahan, kemawahan, maupun mahalnya, tetapi terletak pada tingkat manfaatnya. Pada saat seseorang kehausan, setetes air ternyata jauh lebih berharga daripada sebutir berlian, walau yang sebesar gunung sekalipun. Pada saat kelaparan yang mengancam jiwa, sesuap makanan ternyata jauh lebih berharga daripada dinar dan dirham, walau yang sebanyak butiran pasir di pesisir pantai sekalipun.

“Saat ini aku hanya butuh seteguk air! Aku sama sekali tidak butuh sebutir berlian pun. Aku tidak butuh berlian yang sebesar dan seindah ini! Aku bahkan tidak butuh berlian yang sebesar gunung sekalipun! Kalau perlu, seluruh dinar dan dirham yang ada pada diriku inipun akan aku berikan untuk seteguk air yang bisa menghilangkan dahagaku ini!”, ratapnya kencang menghabiskan sisa-sisa tenaganya. Ia begitu putus asa.

Dalam keputusasaannya, ia menyadari bahwa nilai sebuah benda itu tidak terletak pada keindahan, kemawahan, maupun mahalnya, tetapi terletak pada tingkat manfaatnya. Pada saat seseorang kehausan, setetes air ternyata jauh lebih berharga daripada sebutir berlian, walau yang sebesar gunung sekalipun. Pada saat kelaparan yang mengancam jiwa, sesuap makanan ternyata jauh lebih berharga daripada dinar dan dirham, walau yang sebanyak butiran pasir di pesisir pantai sekalipun.


Disarikan dari :

Romli HM., Usep. 2000. Percikan Hikmah (Berdialog dengan Hati Nurani). Penerbit: PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Lihat: Nilai sebuah Permata. opcit. hal 3

Visits: 10222

Leave a Reply