Apakah memilih sikap zuhud dan hidup sederhana di dunia ini harus dengan menjauhi harta benda dunia dan menjadi miskin? Nabi Muhammad SAW bersabda: “Manusia itu terbagi empat macam di dunia ini: Seorang hamba yang Allah berikan kekayaan dan ilmu agama, lalu ia bertaqwa kepada-Nya dengan apa yang ia miliki, senantiasa memberi sanak saudaranya dan mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya itu, maka inilah sebaik-baik derajat manusia. Dan seorang hamba yang Allah berikan ilmu tapi tidak diberikan harta, segala niatnya tulus ikhlas dan dia berkata, ‘Jika aku memiliki harta aku akan melakukan seperti (hamba yang kaya dan berilmu tadi) maka dia diberi pahala sesuai niatnya maka pahala orang kedua itu sama. Dan seorang hamba yang Allah berikan kekayaan, tapi tidak diberikan ilmu pengetahuan, lalu ia merasa bingung dan menghabiskan kekayaannya tanpa berdasarkan ilmu; dia tidak takut kepada Tuhannya berkenaan dengan hal itu, dan tidak member sanak saudaranya, juga tidak mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya. Maka inilah seburuk-buruk derajat manusia. Dan seorang hamba yang tidak Allah berikan harta dan pengetahuan, lalu ia berkata, ‘Seandainya aku kaya maka aku akan melakukan ini dan itu (seperti macam manusia yang ketiga). Maka ia akan dinilai berdasarkan niatnya dan beban kejahatan mereka berdua sama.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Berdasarkan hadist Nabi SAW tersebut, orang mukmin yang paling tinggi derajatnya adalah orang mukmin yang kaya dan berilmu agama, karena dengan ilmu agamanya dia akan mengetahui cara memanfaatkan harta itu sesuai dengan perintah Allah, sehingga dia akan menggunakan harta itu untuk berbakti kepada Allah di jalan Allah. Oleh karena itu, seorang mukmin yang dikatakan mengutamakan kehidupan akhirat itu bukan lantas dengan cara meninggalkan kehidupan duniawinya dan menjadi miskin, melainkan dengan bekerja giat dengan cara yang baik, sehingga harta yang diperolehnya itu dapat dia manfaatkan di jalan Allah sebagai bekal bagi kehidupan akhiratnya, untuk membangun rumah syurganya di akhirat kelak.
Rasulullah SAW pun telah mengajarkan kita berdoa agar terhindar dari kemiskinan, yaitu:
Allahumma inni a’udzubika minal-faqri wal-qillati wadz-dzillati wa a’udzubika min an azhilma aw uzhlama.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, dan kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari menzhalimi dan di zhalimi orang lain.” (H.R. Abu Dawud, Nasa’i, dan lainnya)
Allah SWT berfirman: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77)
Al-Awza’I berkata: ”Gunakanlah harta yang engkau nikmati untuk membuatmu bertambah kuat dalam menjauhi api yang dinyalakan oleh Allah yang menyala-nyala menyambar hati manusia, engkau sekarang ini berada di tempat tinggal sementara di mana engkau diberi jatah waktu.” (Kitab Ash-Shukr, hal.15)
Sehingga sikap zuhud (tidak mementingkan keduniaan) dan hidup sederhana bukan berarti hidup miskin dan tidak mengambil bagian dunia sama sekali. Sikap zuhud dan hidup sederhana artinya tidak mengikatkan hati dan jiwa kepada dunia dan harta benda walaupun memiliki banyak harta benda, tidak merasa berat (ikhlas) mengeluarkan harta benda itu demi menaati perintah Allah SWT, dan tidak memandang istimewa terhadap harta benda yang dimilikinya.
Sehingga sikap zuhud (tidak mementingkan keduniaan) dan hidup sederhana BUKAN berarti hidup miskin dan tidak mengambil bagian dunia sama sekali. Sikap zuhud dan hidup sederhana artinya tidak mengikatkan hati dan jiwa kepada dunia dan harta benda walaupun memiliki banyak harta benda, tidak merasa berat (ikhlas) mengeluarkan harta benda itu demi menaati perintah Allah SWT, dan tidak memandang istimewa terhadap harta benda yang dimilikinya. Sikap zuhud dan hidup sederhana, artinya mencari harta benda itu di antara yang halal, tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan harta yang dimiliki, kemudian harta benda itu dipergunakan untuk menunaikan hak-hak Allah, harta benda itu bermanfaat bagi sesama yang membutuhkan, harta benda itu tidak digunakan untuk menyombongkan diri dan bersikap riya’, serta harta benda itu digunakan sebagai sarana untuk terus mendekatkan diri kepada Allah untuk bekal kehidupannya kelak di akhirat. Sikap zuhud dan hidup sederhana dalam harta artinya harta benda yang kita miliki bisa bermanfaat untuk orang lain yang membutuhkan, dan berguna pula untuk ikut memelihara tegaknya agama Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits:
“Kemuliaan dunia adalah dengan banyak harta, kemuliaan akhirat adalah dengan banyak amal sholeh”
Dari Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kemulian orang yang hidup di dunia adalah dengan harta.” (HR Ahmad no 23109, sanadnya kuat menurut Syeikh Syuaib Al Arnauth).
Dengan demikian sikap giat bekerja mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri saja agar bisa memuaskan dan meraih kebanggaan hidup hanya di dunia ini saja, bukanlah sikap seorang mukmin. Seorang mukmin akan memiliki sikap giat bekerja dengan cara yang baik dengan tujuan agar harta yang diperoleh itu bisa menjadi bekal kehidupannya di akhirat kelak dan untuk membangun rumahnya di akhirat, yaitu syurga.
Sufyan ath-Tsauri berkata: “Berusahalah untuk duniamu sebanyak masa tinggalmu di dalamnya dan berusahalah untuk akhiratmu sebanyak masa tinggalmu di dalamnya, dan semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu.”(Hilyatul-Auliya’, jilid 6, hal. 272)
Ketika limpahan harta benda yang Allah karuniakan tidak dimanfaatkan di jalan-Nya, maka yang akan diambil untuk menemani ruh nanti dalam kengerian alam kubur hanyalah sehelai kain kafan saja, sementara harta benda yang tidak bermanfaat di jalan Allah itu akan tertinggal di belakang, kemudian diperebutkan oleh para ahli waris yang bahkan bisa jadi lupa untuk mendoakan ruh tersebut. Selain itu, harta benda yang tidak dibelanjakan di jalan Allah itu akan mewujud menjadi makhluk mengerikan yang senantiasa menemani ruh itu di alam kubur sehingga malah menambah kengeriannya di alam kubur. Harta itu akan menambah beban dan menyengsarakan kehidupannya di alam selanjutnya, serta akan dikalungkan di lehernya sebagai api yang menyala-nyala pada hari pembalasan kelak dan pada akhirnya akan dilemparkan bersama dirinya ke dalam neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
Jadi, benarkah kalau harta itu TIDAK dibawa mati? Dalam kenyataannya, menurut ajaran Islam, setiap harta yang didapat oleh seorang hamba pasti akan dibawa mati dan dimintakan pertanggungjawabannya, dalam arti bahwa harta benda yang telah dibelanjakan sebaik-baiknya di jalan Allah SWT akan mengikuti si hamba itu di alam selanjutnya (alam kubur dan alam akhirat), menjadi salah satu penyelamatnya dari adzab kubur dan akhirat. Sedangkan harta benda yang hanya disimpan atau dibakhilkan saja tanpa dibelanjakan di jalan Allah SWT akan mengikuti si hamba itu di alam selanjutnya, dikalungkan dalam bentuk api neraka dan mendatangkan adzab serta siksa di alam kubur dan alam akhirat kelak.
Akan tetapi, ketika kita sebagai hamba-Nya memilih sikap zuhud dan hidup sederhana dimana limpahan harta benda yang Allah karuniakan kepada kita benar-benar kita manfaatkan dengan baik di jalan-Nya, maka yang akan kita ambil untuk menemani kita dalam kengerian alam kubur, selain sehelai kain kafan yang membungkus jasad usang kita juga harta benda yang telah kita belanjakan di jalan Allah itu akan mewujud menjadi makhluk indah yang menemani kita menjalani kehidupan di alam kubur. Ia akan menentramkan dan membahagiakan kita di alam kubur, menjadi pembela dan perisai kita dari azab kubur, serta menjadi salah satu pemberat timbangan amal kita di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) kelak.
Jadi, benarkah kalau harta itu TIDAK dibawa mati? Dalam kenyataannya, menurut ajaran Islam, setiap harta yang didapat oleh seorang hamba pasti akan dibawa mati dan dimintakan pertanggungjawabannya, dalam arti bahwa harta benda yang telah dibelanjakan sebaik-baiknya di jalan Allah SWT akan mengikuti si hamba itu di alam selanjutnya (alam kubur dan alam akhirat), menjadi salah satu penyelamatnya dari adzab kubur dan akhirat. Sedangkan harta benda yang hanya disimpan atau dibakhilkan saja tanpa dibelanjakan di jalan Allah SWT akan mengikuti si hamba itu di alam selanjutnya, dikalungkan dilehernya dalam bentuk api neraka yang menyala-nyala dan mendatangkan adzab serta siksa di alam kubur dan alam akhirat kelak.
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) adzab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan penggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (Q.S. At-Taubah: 34 – 35)
Ali ra. berkata: “Dunia ini adalah tempat yang bersahaja bagi orang-orang yang jujur, tempat yang aman bagi mereka yang memahami hakikat sejatinya, dan tempat harta benda kemewahan bagi mereka yang ingin mengambil bekal yang cukup untuk menuju akhirat.“(Adabud-Dunya Wad-Din, hal. 134)
Malik bin Dinar berkata: “Apapun yang akan kamu jadikan sebagai temanmu nanti di akhirat, tanamlah sekarang, dan apapun yang tidak kamu inginkan untuk menemanimu nanti di akhirat, jauhilah sekarang juga.” (Sifatus-safwah, jilid 2, hal. 166)
Referensi:
Al-Qasim, Abdul Malik bin Muhammad. 2000. Mampir Ngombe (Tamsil Kesenangan Duniawi). Mitra Pustaka: Yogyakarta.
Addimasyqi, Muhammad Jamaluddin Alqasimi (penyusun). Tidak Bertahun. Mau’izhatul Mukminin (Ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin) Karya Imam Al-Ghazali. Penerbit Al-Maktabah At-tijjariyah Al-Kubro.
Views: 788