Bersedekah dengan Ikhlas (I)

Abdullah bin Mubarak suatu ketika sedang dalam perjalanan menuju ke kota suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Pada suatu hari, sampailah ia di sebuah kota yang cukup ramai, yaitu Kufah. Ia pun memutuskan untuk beristirahat di kota itu. Pada saat itu Abdullah melewati sebuah pasar yang cukup ramai. Di sebuah sudut pasar, terlihat seorang wanita berbaju lusuh sedang sibuk mengorek-ngorek isi tempat sampah. Abdullah pun lantas menghentikan keledainya. Ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh wanita itu.

Wanita itu tampak sedang mengambil bangkai seekor itik, kemudian sibuk mencabuti bulu-bulunya. Abdullah pun lantas mendekati wanita itu dan bertanya, “Bukankah itik ini sudah menjadi bangkai?”

“Benar. Ini adalah bangkai itik.”, jawab wanita itu sambil terus sibuk mencabuti bulu-bulu bangkai itik itu.

“Hendak kau apakan bangkai itik itu?”, Abdullah pun kembali bertanya.

Wanita itu menoleh sekilas. “Bangkai itik ini akan kumakan bersama dengan keluargaku.”

Abdullah terperanjat dengan jawaban wanita itu. “Tidakkah kau mengetahui bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan orang muslim memakan bangkai?”

“Sudahlah, orang asing. Pergilah kau dari sini!”, bentak wanita itu.

Namun Abdullah masih ingin tahu apa yang membuat wanita itu ingin memakan bangkai itik itu. Ia pun terus bertanya. Akhirnya, wanita itu menjawab pertanyaan Abdullah.

“Sesungguhnya aku memiliki beberapa orang anak yang masih kecil-kecil, kami tidak memiliki makanan. Sudah tiga hari mereka tidak makan. Sehingga aku terpaksa memberi mereka makan dengan daging bangkai ini.”, jawab si wanita itu pada akhirnya.

Mendengar jawaban wanita itu, Abdullah merasa sedih. Ia segera pergi menuju keledainya kemudian menuntun keledainya mendekati wanita itu. “Ini ada uang, makanan, dan pakaian. Bawalah pulang berikut keledai ini beserta segala sesuatu yang dia bawa di atas punggungnya.”, kata Abdullah kepada wanita itu seraya menyedekahkan keledai tunggangannya berikut seluruh perbekalan ibadah hajinya yang diangkut oleh keledainya itu.

Abdullah bin Mubarak pun kemudian meneruskan perjalanannya menuju kota suci Makkah dengan berjalan kaki, sehingga sebelum ia sampai di Kota Makkah, waktu untuk beribadah haji telah lewat. Ketika ia melihat rombongan orang-orang yang telah menunaikan ibadah hajinya mulai kembali pulang ke negerinya masing-masing, Abdullah pun juga ikut pulang bersama mereka.

Sesampainya di kampung halamannya, orang-orang berdatangan ke rumahnya sambil memberikan ucapan selamat karena ia telah berhasil menunaikan ibadah haji. Di antara orang-orang yang datang, termasuk pula orang-orang dari kampungnya yang juga baru pulang dari menunaikan ibadah haji.

“Tahun ini aku tidak jadi menunaikan ibadah haji.”, kata Abdullah kepada setiap orang yang datang mengucapkan selamat kepadanya.

Kemudian seorang dari kampungnya yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji berkata kepada Abdullah, “Subhanallah! Tidakkah kau ingat Abdullah? Bahwa aku telah menitipkan uangku kepadamu, kemudian aku ambil kembali di Arafah?”

Seseorang lainnya kemudian berkata, ”Bukankah engkau yang telah memberiku minum di sebuah jalan dekat Mina itu?”

Belum sampai Abdullah menjawab, yang lain pun berkata, “Bukankah engkau yang telah membelikan aku makanan dan minuman pada suatu siang sebelum kita berangkat menunaikan Shalat Dhuhur di Masjidil Haram waktu itu, Abdullah?”

“Aku tidak mengerti dengan semua yang kalian katakan itu. Sebab sudah aku katakan, bahwa aku tidak jadi menunaikan ibadah haji tahun ini.”, jawab Abdullah.

Akhirnya, setelah semua tamu pulang, Abdullah pun mematikan lampu. Setelah melaksanakan Shalat Isya’, Abdullah pun tertidur. Dalam tidurnya Abdullah bermimpi mendengar suatu suara yang menyeru kepadanya, “Hai Abdullah bin Mubarak! Sesungguhnya Allah SWT telah mencatat niatmu untuk menunaikan ibadah haji dan menerima sedekahmu itu. Sehingga Allah SWT telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai pengganti dirimu. Sesungguhnya Allah SWT hanya menerima segala amal yang dilakukan dengan ikhlas. Dan sesungguhnya engkau telah bersedekah dengan ikhlas.”

Bersedekah dengan Ikhlas (II)

Alkisah, pada suatu hari seorang kaya tapi sangat kikir sekaligus amatlah congkak berniat untuk bersedekah dengan ikhlas. Tetapi, ia masih menimbang-nimbang, manakah kiranya barang yang akan ia sedekahkan. Ia melihat tumpukan dinar dan dirhamnya, kemudian menggeleng. Hatinya terasa berat menyedekahkan dinar dan dirhamnya yang bertumpuk-tumpuk itu. Ia lalu melihat tumpukan pakaian-pakaiannya yang bertatahkan emas dan permata. Hatinya juga berat menyedekahkan pakaian-pakaiannya itu. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk bersedekah.

Pada keesokan harinya, ia berjalan melewati sebuah masjid. Ketika ia melihat sebuah kotak amal di pintu masjid itu, ia lantas teringat kembali akan niatnya untuk bersedekah. “Aha!”, teriaknya dalam hati dengan girang, kemudian merogoh salah satu saku bajunya. Dikeluarkannya sekeping uang yang sudah lusuh kehitam-hitaman yang ia dapatkan dari kembalian makanan yang ia beli di pasar, kemudian ia masukkan ke dalam kotak amal di pintu masjid yang ia lewati itu. “Aku ikhlas bersedekah dengan uang ini.”, katanya dalam hati.

Pada malam harinya, si kaya nan kikir itu tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi seakan-akan hari kiamat telah tiba. Ia melihat dirinya sedang menjalani perhitungan (hisab) atas amal-amalnya. Akan tetapi, karena kekikiran dan kebakhilannya itu, akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Ia merasakan dirinya sangat tersiksa di dalam neraka demikian lamanya. Kemudian ia merasakan dirinya dikeluarkan dari neraka dalam keadaan sudah hangus menghitam. Setelah itu ia merasakan dirinya dibawa ke sungai kehidupan (nahrul hayat). Ia diimasukkan ke sana kemudian keluar dalam wujud yang sangat indah. Malaikat lalu membawanya ke sebuah tempat yang sangat indah, jauh lebih indah daripada segala bentuk istana megah yang pernah dilihat atau dibayangkannya di dunia.

“Ini adalah syurga yang paling kecil dan paling sederhana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT untuk orang-orang yang beriman. Inilah rumahmu sekarang.”, kata malaikat yang mengantarkannya ke tempat itu.

“Alangkah indahnya tempat ini. Ini jauh lebih indah dari rumahku yang megah di dunia. Bahkan aku tidak pernah menjumpai tempat yang seindah ini di dunia. Padahal engkau mengatakan bahwa tempat ini adalah syurga yang paling kecil dan paling sederhana.”, si kaya nan kikir itu begitu kegirangan dengan tempat tinggalnya di syurga, walaupun tempat tinggalnya adalah syurga yang paling kecil dan paling sederhana dibandingkan dengan tempat tinggal penduduk syurga lainnya. Tetapi ia sudah sangat senang.

“Bagiku tempat ini sudah lebih dari cukup dan suatu anugerah yang besar. Yang penting aku sudah selamat dan bisa keluar dari neraka, itu saja sebenarnya sudah cukup.”, lanjutnya dengan hati senang.

“Lalu, amal seharga apakah yang telah aku bayar sehingga aku bisa memiliki tempat tinggal yang seindah ini?”, tanya si kaya nan kikir kepada malaikat yang mengantarkannya.

Malaikat yang mengantarkannya itu kemudian menjawab, “Hanya sekeping uang logam lusuh kehitam-hitaman yang pernah kau sedekahkan dengan ikhlas di kotak amal sebuah masjid. Tidakkah kau ingat itu!? Inilah balasan orang yang bersedekah dengan ikhlas walaupun hanya dengan sekeping uang saja.”

Si kaya nan kikir itu pun langsung jatuh terduduk. Ia membayangkan seandainya dulu sewaktu hidup di dunia ia menjadi orang yang dermawan, pastilah tempat tinggalnya jauh lebih besar dan lebih indah dari ini. Dan pastilah ia tidak perlu berlama-lama tersiksa di dalam neraka karena kekikiran dan kebakhilannya. Ia pun teringat akan tumpukan harta bendanya di dunia. “Sekeping uang logam lusuh itu di akhirat telah menjadi sebuah bangunan syurga yang begitu indah. Apalagi kalau tumpukan dinar, dirham, intan, berlian, dan harta bendaku aku sedekahkan, tentunya aku bisa memiliki rumah yang jauh lebih indah dan besar dari ini.”, sesalnya sambil menatap jauh ke atasnya, ke arah syurga-syurga lainnya yang jauh lebih indah, besar, dan terlihat begitu gemerlapan seperti bintang-bintang di langit. Ia merasa sangat menyesal telah menyia-nyiakan nikmat harta benda yang Allah SWT karuniakan kepadanya.

Si kaya nan kikir itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan gemetar dan wajah ketakutan mengingat mimpinya. Ia pun langsung bergegas mengambil wudhu, kemudian shalat dan bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT. Sejak itulah, ia menjadi orang yang sangat dermawan dan rendah hati. Tidak ada lagi kecongkakan di hatinya. Ia tidak pernah lagi berbangga hati dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Ia menjadi orang yang sangat zuhud walaupun memiliki banyak harta benda dan selalu giat membelanjakan harta bendanya di jalan Allah SWT.


Terinspirasi dari Kitab An-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin bin Salamah Al-Qalyubiy

Views: 354

Leave a Reply