Etiket Meminta Memberikan Nomor Telepon Ponsel

Etiket meminta/memberikan nomor telepon/ponsel adalah topik artikel yang akan dibahas kali ini. Pernahkah Anda menjumpai kasus seperti dua contoh berikut? Contoh pertama: A tiba-tiba mendapat pesan dari nomor asing di whatsapp/telegram/pesan ponselnya, padahal ia merasa tidak pernah memberikan nomor ponselnya kepada orang tersebut. Orang terebut menulis: Assalamu’alaikum, saya Tina teman kantor kamu dulu, sewaktu kamu masih ngantor di XYZ, ingat nggak? Saya dapat nomor kamu dari Lili, sahabatmu. A lantas merasa kesal dengan Lili kenapa Lili sembarangan saja memberitahukan nomor ponselnya kepada Tina tanpa konfirmasi dulu kepada dirinya. Beberapa waktu kemudian, di ponsel A ada pesan baru dari nomor asing lain lagi. Ternyata orang tersebut mengaku mendapatkan nomor ponselnya dari Tina. Begitu seterusnya sampai akhirnya banyak orang mengetahui nomor ponsel A, padahal A tidak berteman baik dengan orang-orang itu, juga tidak pernah merasa memberitahukan nomornya kepada mereka. Intinya, A memberitahukan nomor ponselnya kepada satu orang, yaitu Lili,  tetapi kemudian ada beberapa orang yang jadi tahu nomor ponsel A, dan sumber awalnya adalah karena Lili yang memberitahukannya. Padahal A merasa tidak pernah dimintai izin oleh Lili tentang itu. Pada akhirnya A merasa kesal kepada Lili, sahabatnya, yang merupakan sumber utama atas kebocoran nomor ponselnya. A lantas mengganti nomor ponselnya dan tidak memberitahukan Lili nomor barunya. Si Lili pun mengeluh mengapa sekarang A jadi menjaga jarak dengannya dan tidak mau memberitahu nomor ponselnya yang baru. Si Lili ini adalah salah satu contoh sahabat yang tidak menjaga amanah dari si A karena A memberikan nomor ponselnya untuk Lili, bukan untuk orang lain. Lili seharusnya minta izin dulu kepada A apabila hendak memberitahukan nomor ponsel A kepada orang lain lagi. Kalau pada akhirnya A menjauhi Lili dan tidak lagi mau memberitahu Lili nomor ponsel barunya, itu artinya A menganggap Lili bukan sahabat yang amanah, dan ia tidak bisa lagi memercayai Lili untuk menjaga privasi nomor ponselnya, apalagi untuk menjaga informasi pribadi lainnya. Nah, sayang sekali bukan kalau hanya gara-gara perilaku ember dan sembarangan memberitahukan nomor telepon/ponsel orang lain tanpa izin, hubungan kita dengan si pemilik nomor tersebut menjadi rusak, atau kita dijauhi dan tidak dipercaya lagi oleh si pemilik nomor telepon/ponsel tersebut?

Contoh kedua: A dihubungi seorang teman, sebut saja namanya Kiran. Dia menanyakan, “Eh, kamu teman/kerabat si Fatimah ‘kan? Kamu pasti punya nomor ponselnya. Minta nomor ponsel si Fatimah dong, penting nih.” Kemudian A menjawab, “Iya aku punya. Tunggu sebentar ya, aku tanyakan dulu ke Fatimah, boleh nggak nomornya diberitahukan. Nanti kalau diizinkan, baru aku kasih tahu kamu.” Si Kiran kemudian merespon, “Halah ribet banget sih kamu, orang cuma nomor ponsel aja udah kayak apaan tau. Tinggal kasih tahu aja susah amat, pakai izin-izin segala ke orangnya.” Nah, dari dua contoh di atas, apa yang dilakukan oleh Lili, Tina, dan Kiran merupakan contoh pelanggaran terhadap etiket meminta/memberikan nomor telepon/ponsel.

Nomor telepon (ponsel) pada dasarnya adalah bagian dari data pribadi. Dengan nomor telepon (ponsel) itu Anda mendaftarkan akun mobile banking, akun belanja online, akun aplikasi online, dan lain-lain. Untuk sebagian orang, nomor telepon (ponsel) juga terhubung dengan data kartu kredit, data bank, data pajak, akun mobile banking, akun e-banking, akun e-mail, akun pembayaran online, dan hal-hal lain yang bersifat penting dan privat. Dengan nomor telepon/ponsel itu Anda juga terhubung dengan keluarga, sanak kerabat, sahabat-sahabat terbaik, dan orang-orang terdekat Anda ketika sedang terpisah jarak. Dengan nomor telepon/ponsel itu Anda pun terhubung dengan klien dan rekan kerja Anda untuk urusan pekerjaan/profesional yang penting.

Akan tetapi, bagi sebagian orang, data penting dan pribadi yang berupa nomor telepon/ponsel itu tidak dianggap sebagai privasi dan bukan hal yang serius sehingga tidak masalah kalau harus dibagikan ke banyak orang, bahkan ke orang-orang yang tidak terlalu dikenal baik sekalipun. Oleh karenanya ia pun juga bersikap enteng saja ketika memberikan nomor telepon/ponsel milik teman/sahabat/kerabatnya kepada orang lain tanpa minta izin terlebih dahulu kepada si pemilik nomor. Ya karena memang ia menganggap perbuatan bagi-bagi nomor telepon/ponsel ke orang lain adalah hal yang biasa, bukan masalah privasi, bukan pula hal yang penting, dan tidak perlu minta izin si pemilik nomor.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki prinsip dan pikiran seperti itu. Ada juga sebagian orang yang menganggap nomor telepon/ponsel merupakan hal yang sangat penting dan bagian dari privasi yang tidak akan dibagikannya ke sembarang orang. Sebab, bagi orang yang menjunjung tinggi privasi, kesediaan memberikan nomor telepon/ponsel itu sama artinya dengan kesediaan untuk membagikan informasi pribadinya. Oleh karenanya, ia hanya bersedia memberikan nomor telepon/ponselnya kepada orang-orang terdekat yang ia percaya, orang-orang yang telah ia kenal dengan sangat baik, orang-orang yang ia anggap dapat dipercaya, orang-orang yang ia yakin bisa menjaga amanah dengan tidak membagikan nomornya tanpa izin, dan orang-orang yang memang ada hubungannya dalam urusan pekerjaan profesional yang penting dan bermanfaat.

Nah, di sinilah letak persoalannya. Orang yang menganggap nomor telepon/ponsel merupakan privasi dan hal sangat penting jelas akan merasa terganggu dan sangat kesal ketika ada orang lain membagikan nomor telepon/ponselnya kepada orang lain lagi tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepadanya, boleh atau tidaknya nomor itu diberitahukan. Sebaliknya, orang yang menganggap nomor telepon/ponsel bukan hal penting/serius dan bukan privasi, melainkan hal umum yang biasa saja untuk dibagikan, tidak akan mengerti mengapa ada orang yang merasa kesal dan terganggu hanya karena nomor telepon/ponselnya dibagikan tanpa minta izin terlebih dahulu. Maka, di sinilah persoalan dimana dibutuhkan kesadaran dan kedewasaan sikap seseorang untuk menghargai privasi orang lain serta menghormati prinsip dan pilihan orang lain, walaupun prinsip dan pilihan itu berbeda dengan dirinya.

Lalu bagaimanakah etiket meminta/memberikan nomor telepon/ponsel itu?

Kalau ia termasuk ke dalam golongan yang menganggap nomor telepon/ponsel bukan hal privasi dan tidak masalah untuk dibagi-bagikan, juga tidak masalah apabila setiap orang mengetahui berapa nomor telepon/ponselnya, maka itu tidak menjadi persoalan sepanjang hal itu diterapkan untuk dirinya sendiri. Sebab, dirinya sebagai pemilik nomor telepon/ponsel berhak sepenuhnya untuk membagikan atau tidak membagikan nomor telepon/ponsel miliknya sendiri. Namun ingat, itu hanya berlaku bagi nomor telepon/ponsel miliknya, bukan nomor telepon/ponsel milik orang lain.

Akan tetapi, begitu itu menyangkut nomor telepon/ponsel milik orang lain, pemikiran bahwa nomor telepon/ponsel itu hal yang biasa saja untuk dibagikan, bukan privasi, dan tidak penting minta izin si pemilik nomor, maka pemikiran itu sudah tidak berlaku lagi. Ia tidak bisa menggunakan standar dirinya yang menganggap nomor telepon/ponsel bukan masalah serius dan bukan hal privat itu, untuk diterapkan kepada orang lain. Sebab, orang lain belum tentu memiliki standar pemikiran yang sama dengan dirinya. Bagaimana pun situasinya dan apa pun alasannya, secara etika, yang berhak memutuskan untuk memberitahukan nomor telepon/ponsel itu kepada orang lain hanyalah si pemilik nomor itu sendiri. Orang lain tidak memiliki hak apa pun atas nomor telepon/ponsel yang bukan miliknya. Si pemilik nomor memiliki hak penuh atas nomor telepon/ponselnya sendiri, apakah ia bersedia memberitahukannya atau tidak. Sementara itu, sekali lagi, orang lain yang bukan pemilik nomor tidak memiliki hak apa pun atas nomor tersebut.

Dengan demikian, kalau Anda berada pada posisi ditanyai perihal nomor telepon/ponsel milik orang lain, maka Anda memiliki kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu kepada si pemilik nomor apabila hendak membagikan nomor telepon/ponsel itu kepada orang lain. Kalau si pemilik nomor tidak mengizinkan, maka Anda harus menghormati keputusan itu dan menghargai hak si pemilik nomor dengan tidak memberitahukannya kepada orang lain. Itulah salah satu etiket meminta/memberikan nomor telepon/ponsel.

Sementara itu, apabila Anda berada pada posisi sedang meminta nomor telepon/ponsel milik orang lain, pastikan terlebih dahulu bahwa orang yang Anda tanyai itu sudah konfirmasi dan mendapatkan izin terlebih dahulu dari si pemilik nomor sebelum ia memberikan nomor tersebut kepada Anda. Ini juga adalah etiket meminta/memberikan nomor telepon/ponsel.

Seseorang yang merasa nyaman berteman/bersahabat dengan Anda, kemudian bersedia memberikan nomor telepon/ponselnya kepada Anda itu, artinya ia hanya memberikan nomornya untuk Anda karena ia nyaman dengan Anda (bukan dengan orang lain). Seseorang setuju berteman dan memberikan nomor ponselnya kepada Anda, belum tentu ia juga setuju untuk berteman/menjalin kontak dengan teman Anda yang lain, belum tentu juga ia bersedia memberikan nomor ponselnya kepada teman Anda yang lain. Jadi, Anda harus bisa menjaga amanah dan kepercayaannya itu dengan tidak memberitahukan nomornya kepada orang lain lagi tanpa seizinnya, walaupun orang lain itu adalah teman baik Anda juga. Sekali lagi, perlu diketahui, walaupun Anda merasa cocok berteman dengan A, belum tentu sahabat Anda si pemilik nomor itu bersedia dan cocok berteman dengan A karena setiap orang memiliki sifat, karakter, dan kepribadian yang berbeda, juga preferensi yang berbeda dalam memilih teman/sahabat yang dicocoki. Kita tidak bisa memaksa teman kita untuk berteman juga dengan teman kita yang lain. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menjalin kontak dengan orang lain tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu, apakah ia bersedia menjalin kontak atau tidak. Kita hendaknya senantiasa menghargai privasi orang lain dengan tidak masuk dan tidak ikut campur di dalamnya. Kita hendaknya juga senantiasa menghormati prinsip dan pilihan pribadi orang lain, walaupun prinsip dan pilihan itu berbeda, karena itu adalah hak asasi.

Memang salah satu karakter jelek sebagian orang Indonesia (TIDAK SEMUA orang Indonesia tentunya), adalah tidak adanya kesadaran untuk menghargai privasi orang lain serta ketidakmampuan untuk menghormati prinsip dan pilihan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Mereka menganggap privasi bukan hal serius, sehingga seringkali memasuki ranah privasi orang lain sampai pada tahap yang terkesan ikut campur dan mengganggu, hanya karena merasa kenal dengan orang tersebut. Kemudian juga suka melanggar privasi orang lain tanpa merasa bersalah, yaitu dengan sembarangan membagikan informasi pribadi seseorang kepada orang lain tanpa konfirmasi dahulu kepada yang bersangkutan. Contoh kasus dalam artikel ini ya itu tadi, bagi-bagi nomor telepon/ponsel milik orang lain dengan santainya tanpa minta izin kepada si pemilik nomor. Itu sebenarnya kurang sopan dan kurang beretika, tetapi bagi sebagian orang di Indonesia, hal itu dianggap lumrah dan normal-normal saja. Kalau ditegur mereka cenderung baper dan sakit hati, tetapi kalau didiamkan mereka tidak juga mengerti kalau perbuatannya itu tidak benar, kurang sopan, kurang beretika, dan mengganggu kenyamanan orang lain. Istilahnya, golongan orang seperti itu baperan, tetapi tidak sensitif dan minim empati. Baperan kalau itu menyangkut dirinya sendiri. Namun, tidak sensitif dan minim empati kalau itu menyangkut orang lain. Itu menunjukkan masih adanya sifat kekanak-kanakan (belum dewasa) dalam dirinya, walaupun secara lahir usianya sudah banyak. Itu juga menunjukkan kalau jiwa dan cara berpikirnya masih belum matang.

Menghargai, menghormati, dan tidak mengganggu/mengusik kehidupan orang lain.

Kita tidak boleh memaksakan prinsip, pilihan, dan standar pribadi kita kepada orang lain karena sifat, karakter dan kepribadian setiap orang itu tidak sama. Hal-hal yang bagi kita bukan masalah serius, mungkin saja adalah masalah yang serius bagi orang lain. Hal-hal yang bagi kita tidak penting, bisa jadi adalah hal yang sangat penting bagi orang lain. Hal-hal yang bagi kita bukan privasi, bisa saja merupakan privasi yang dijunjung tinggi oleh orang lain. Hal-hal yang bagi kita nyaman, belum tentu membuat orang lain nyaman. Hal-hal yang kita cocoki, belum tentu dicocoki juga oleh orang lain. Hal-hal yang kita sukai belum tentu disukai juga oleh orang lain. Hal-hal yang menurut kita merupakan pilihan terbaik, bisa jadi bukan pilihan yang baik menurut orang lain. Hal ABC yang menjadi prioritas utama hidup kita, belum tentu juga menjadi prioritas utama hidup orang lain, bisa jadi prioritas utama hidup orang lain itu hal XYZ. Teman/sahabat yang karakternya sangat kita cocoki, belum tentu dicocoki juga oleh teman/sahabat kita yang lain. Hal-hal yang bisa dengan mudah kita terima, bisa jadi merupakan hal-hal yang sulit diterima oleh orang lain. Hal-hal yang bisa dengan mudah kita maafkan, bisa jadi merupakan hal yang sulit dimaafkan oleh orang lain. Hal-hal yang bagi kita merupakan bahan candaan, bisa jadi hal yang membuat orang lain tersinggung.

Bagi-bagi nomor ponsel orang lain tanpa minta izin mungkin hal yang santai buat kita, tetapi bagi orang lain bisa jadi masalah privasi serius yang bisa membuat hubungan pertemanan/persahabatan retak. Bepergian/wisata beramai-ramai mungkin adalah hal sangat nyaman dan menyenangkan buat kita, tetapi bagi orang lain, hal yang nyaman dan menyenangkan itu adalah bepergian/berwisata dengan satu dua orang saja yang benar-benar dekat. Ngobrol tertawa hahahihi ramai-ramai bagi sebagian orang mungkin adalah hiburan, tetapi bagi sebagian yang lain, yang merupakan hiburan bisa jadi adalah menikmati waktu sendirian atau hanya berbincang-bincang dengan satu dua orang saja. Nongkrong-nongkrong di rumah tetangga untuk ngerumpi dan mengghibah orang lain mungkin menjadi hiburan dan kesenangan bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain nongkrong-nongkrong untuk ngerumpi dan mengghibah orang lain adalah hal yang mudarat dan sia-sia belaka. Hal ABC bisa jadi adalah hal yang nyaman dan sangat membahagiakan untuk tipe kepribadian ABC, tetapi bisa jadi hal yang tidak nyaman dan penuh tekanan untuk tipe kepribadian XYZ. Itu semua karena perbedaan sifat, karakter, dan kepribadian setiap individu. Sekali lagi, kita harus bisa memahami dan menerima kalau setiap individu itu memiliki sifat, karakter, dan kepribadiannya sendiri yang bisa jadi berbeda dengan kita.

Memang perlu kedewasaan pikiran, kematangan jiwa, kebesaran hati, dan sudut pandang pergaulan yang luas untuk bisa menerima kalau setiap orang itu memiliki sifat, karakter, dan kepribadian yang berbeda-beda. Memang dibutuhkan kedewasaan pikiran, kematangan jiwa, kebesaran hati, rasa empati, kerendahan hati, dan sudut pandang pemikiran yang luas untuk bisa: menghormati pilihan dan prinsip hidup orang lain yang berbeda dengan kita; tidak memaksakan kesukaan/pilihan/standar kita kepada orang lain; tidak melanggar hak-hak orang lain; tidak mengganggu kenyamanan orang lain; dan tidak mencampuri ranah privasi hidup orang lain. Oleh karena itu, mari kita berinteraksi dengan orang lain secara sehat dan dewasa dengan senantiasa saling menghormati kehidupan dan prinsip masing-masing, tidak mengganggu kenyamanan hidup orang lain, dan menghargai privasi orang lain, sehingga kita dapat terhindar dari konflik yang menyebabkan retaknya hubungan pertemanan/persahabatan/kekeluargaan. Demikian pembahasan mengenai etiket meminta/memberikan nomor telepon telepon/ponsel. Semoga bermanfaat.  

Baca Juga:

Tips Menjamu Tamu Menginap

Menghindari Konflik dengan Tetangga

Visits: 20403

Leave a Reply