Minggu pagi, 28 Desember 2014, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 8501 tujuan Singapura (SIN) kehilangan kontak 42 menit setelah take off dari Bandara Juanda (SUB), Surabaya, Jawa Timur. Pesawat dengan jadwal keberangkatan pukul 05.20 WIB dan jadwal kedatangan pada pukul 08.30 waktu Singapura (07.30 WIB) tersebut membawa 155 penumpang dan 6 awak. Berikut ini adalah kronologi hilang kontaknya penerbangan QZ 8501 berdasarkan keterangan Dirjen (Plt) Perhubungan Udara Djoko Murdjatmojo :

  1. Jadwal resmi penerbangan QZ 8501, keberangkatan (SUB) : 05.20 WIB dan kedatangan (SIN) : 08.30 waktu Singapura atau 07.30 WIB.
  2. Pukul 05.36 WIB, Minggu pagi, 28 Desember 2014, pesawat take offdari Bandara Juanda menggunakan jalur M635.
  3. Pukul 06.12 WIB, pilot melakukan kontak dengan ATC Jakarta, meminta izin bergeser ke arah kiri dan naik menuju ketinggian 38.000 kaki untuk menghindari awan Cumulonimbus. Permintaan bergeser ke kiri diizinkan., namun ATC belum memberi izin untuk naik karena ada pesawat lain berada pada jalur ketinggian tersebut. Sehingga ATC meminta QZ8501 menunggu pada posisi stand by. Pada saat itu, pesawat AirAsia QZ 8501 berada pada ketinggian 32.000 kaki.
  4. Pukul 06.13 WIB, belum tampak ada masalah. Pesawat masih terlihat pada layar radar ATC Jakarta.
  5. Pukul 06.14 WIB. ATC mengontak QZ 8501 bahwa jalur ketinggian 34.000 bisa digunakan dan meminta pilot untuk naik, namun pesawat tidak bisa lagi dikontak, komunikasi terputus, walaupun pesawat masih tampak pada layar radar. ATC kemudian mengontak pilot AirAsia lain, AWQ 550, yang terbang tepat di atas QZ 8501, untuk membantu mengontak pesawat tersebut. Namun kemudian pesawat QZ  8501 menghilang dari layar radar.
  6. Pukul 06.17 WIB, pada layar radar ATC yang muncul hanya sinyal ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-broadcast) dari pesawat tersebut, sementara pesawat sudah tidak terlihat lagi pada layar radar. Pada saat itu ATC kehilangan kontak dengan pesawat tersebut.
  7. Pukul 06.18 WIB, pesawat sudah benar-benar menghilang dari layar radar ATC. Pada layar radar hanya terlihat flight plan track dari pesawat tersebut, namun realisasi posisi nyata pesawat sudah tak terdeteksi.
  8. Pukul 06.18 – 07.08 WIB, sesuai prosedur, ATC mulai melakukan upaya pencarian dengan radar dan mengontak Basarnas. Pada saat ini status pesawat adalah Incerfa.
  9. Pukul 07.28 WIB, sesuai dengan prosedur maka ATC menyatakan bahwa pesawat AirAsia QZ 8501 telah hilang dari radar (Status Alerfa).
  10. Pukul 07.55 WIB, setelah melakukan pencarian selama 50 menit, penerbangan QZ 8501 secara resmi dinyatakan hilang (Status Ditresfa).
  11. Pada saat itu keberadaan pesawat masih belum diketahui. ELT (Emergency Locator Transmitter) pesawat tidak menyala, sehingga posisi pesawat belum dapat terlacak.
  12. Pukul 08.30 – 09.00 WIB, Senin pagi, 29 Desember 2014, Australia mendeteksi sinyal darurat lemah dari bawah permukaan laut, di sekitar lokasi pesawat melakukan kontak terakhir dengan ATC. Namun setelah diselidiki lebih lanjut, sinyal tersebut berasal dari PLB (Personal Locator Beacon), bukan dari ELT pesawat.
  13. Tim pencari udara juga melaporkan melihat adanya tumpahan minyak di lokasi pencarian, namun setelah ditelusuri lebih lanjut pada malam harinya oleh Kapal Perang, KRI Pattimura, apa yang terlihat dari udara sebagai tumpahan minyak itu tidak lain adalah kumpulan karang di bawah permukaan air.
  14. Hari ini, Selasa 30 Desember 2014, antara pukul 09.00 – 12.50 WIB, tim udara Basarnas melaporkan penemuan serpihan pada 10 titik lokasi yang diduga sebagai pelampung dan beberapa serpihan pesawat AirAsia (termasuk emergency exit) di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sekitar 10 km dari lokasi kontak terakhir dengan ATC. Namun pihak Basarnas belum berani memastikan apakah temuannya itu merupakan bagian dari pesawat yang hilang tersebut sehingga proses evakuasi belum dapat diputuskan. Basarnas kemudian mengerahkan CN 295 dan KRI Bung Tomo menuju lokasi penemuan serpihan.
  15. Sampai saat artikel ini ditulis, Basarnas sudah mengadakan konferensi pers dan memastikan bahwa 95% lokasi tersebut merupakan lokasi pesawat QZ 8501 yang sedang dicari. Proses evakuasi sudah mulai dilaksanakan dengan 6 (enam) jenazah yang diduga penumpang pesawat telah ditemukan.

Sedangkan beberapa fakta penting mengenai pesawat Airasia QZ 8501 adalah sebagai berikut :

  1. Pesawat Airasia QZ 8501 yang hilang kontak tersebut merupakan pesawat buatan Airbus tipe A320-216 yang baru berusia 6 (enam) tahun.  Pesawat ini diterbangkan pertama kali pada 25 September 2008 dan menjalani perawatan rutin terakhir kali pada 16 November 2014. Sampai terakhir kali terbang, pesawat ini telah membukukan sekitar 23.000 jam terbang. Airbus A320-216 merupakan pesawat jet komersial canggih berbadan sempit yang biasa digunakan untuk penerbangan jarak pendek dan menengah dengan kapasitas penumpang sebanyak 180 orang.
  2. Pihak maskapai menyatakan bahwa pesawat ini dalam kondisi laik terbang.
  3. Pesawat ini dipiloti oleh Capt. Iriyanto, seorang pilot senior berpengalaman, mantan penerbang tempur TNI AU yang telah mengantongi total 20.537 jam terbang (6.100 jam terbang di antaranya dilalui bersama AirAsia).
  4. Co-pilot pesawat ini adalah Rémi Emmanuel Plesel, yang mengantongi total 2.275 jam terbang bersama AirAsia.
  5. Pesawat ini lepas landas dari Bandara Juanda (Surabaya) menuju Singapura, pada pagi-pagi buta pukul 05.36 WIB dalam kondisi cuaca yang buruk.
  6. Data cuaca yang dihimpun dari Satelit MTSAT, Minggu pagi 28 Desember 2014 pukul 05.00 – 08.00 WIB, pada rute M635 yang dilalui penerbangan QZ 8501 menunjukkan :

Sumber Gambar : lapan.go.id

a.Adanya angin baratan yang sangat kuat (di atas normal) pada ketinggian 1.5 km akibat adanya Angin Muson Asia dari sebelah barat dan Siklon Tropis di timur Filipina. (Kekuatan angin baratan pada saat itu sekitar 9m/det, sedangkan normalnya adalah 4 m/det.

b. Adanya hujan lebat di sepanjang garis pantai Kalimantan Barat dan perairan utara Pulau Belitung.

c. Adanya pembentukan awan Cumulonimbus di wilayah Laut Jawa, garis pantai Kalimantan Barat, hingga perairan Belitung.


  • BMKG telah membuat prediksi cuaca pada hari Minggu itu dan telah menginformasikan adanya pertumbuhan awan Cumulonimbus setinggi 52.000 kaki dan sangat meluas mulai dari Kalimantan sampai Belitung Selatan, di mana rute M635 yang dilalui oleh pesawat-pesawat yang akan menuju Singapura berada pada wilayah pertumbuhan awan tersebut.
  • Menurut Direktur Safety and Standart AirNav Indonesia, Wisnu Darjono, pada jalur yang dilalui pesawat AirAsia QZ 8501 saat itu, ada 7 pesawat lain yang melintas di sekitar QZ 8501, dengan ketinggian yang berbeda-beda. Empat pesawat berada pada jalur crossing(bersimpangan) dan tiga pesawat berada pada jalur searah. Empat pesawat yang crossing yaitu, Garuda Indonesia GA 602 rute Jakarta – Manado pada ketinggian 29.000 kaki , Lion Air JT 320 rute Jakarta – Pontianak pada ketinggian 35.000 kaki, Lion Air JT 626 rute Jakarta – Balikpapan pada ketinggian 36.000 kaki, dan Garuda Indonesia GA 500 rute Jakarta – Pontianak pada ketinggian 35.000 kaki. Sedangkan tiga pesawat pada jalur searah adalah AirAsia AWQ 550 rute Denpasar – Kuala Lumpur pada ketinggian 34.000 kaki, Emirates EK 409  rute Melbourne – Kuala Lumpur pada ketinggian 36.000 kaki, dan AirAsia AWQ 502 rute Denpasar – Singapura pada ketinggian 38.000 kaki. Sehingga dari data tersebut diketahui bahwa penerbangan QZ 8501 dan GA 602 berada pada ketinggian paling rendah (32.000 kaki dan 29.000 kaki) di antara semua pesawat yang melintasi jalur tersebut.
  • Pilot meminta izin ATC untuk naik menuju ketinggian 38.000 kaki, namun belum disetujui ATC untuk menjaga jarak aman antar pesawat, mengingat ada tujuh pesawat lain yang menemupuh jalur yang sama.
  • Permintaan naik ketinggian disetujui secara bertahap karena kepadatan traffic. Kemudian pada saat ATC memberi izin untuk naik ke ketinggian 34.000 kaki, pilot sudah tidak menjawab (komunikasi terputus).
  • Radar ATC tidak dapat mendeteksi keberadaan awan Cumulonimbus.
  • Pilot tidak melakukan panggilan darurat apapun sebelum pesawat hilang kontak.

Berdasarkan kronologi dan fakta-fakta penting tersebut, maka apa yang sesungguhnya terjadi dengan penerbangan AirAsia QZ 8501 saat itu?

Dari data-data penerbangan AirAsia QZ 8501 tersebut, faktor manusia (dalam hal ini pilot) dan faktor pesawat jelas TIDAK BERMASALAH. Dalam kronologi hilang kontaknya QZ 8501, faktor kunci sebelum pesawat tiba-tiba hilang kontak adalah pilot meminta izin bergeser ke kiri kemudian naik ke ketinggian 38.000 kaki untuk menghindari Awan Cumulonimbus. Maka, sebelum kotak hitam pesawat ditemukan, hanya faktor cuaca (keberadaan awan Cumulonimbus) itulah yang menjadi kunci utama pencetus hilang kontaknya penerbangan QZ 8501.

Awan Cummulonombus. Awan ini dikenal sebagai rajanya awan yang dalam dunia meteorologi dan aviasi, dikenal sebagai awan Cb. Dalam artikel ini, saya tidak akan membahas secara detail mengenai awan Cb, karena sudah banyak artikel yang mengulas masalah awan Cumulonimbus secara rinci. Namun, secara garis besar dapat dikatakan bahwa awan Cumulonimbus merupakan awan berbentuk gumpalan-gumpalan vertikal yang dapat menjulang hingga setinggi 60.000 –  70.000 kaki (sekitar 18 – 21 km di udara), yaitu hampir dua kali lipat dari batas ketinggian maksimal yang dapat diterbangi oleh pesawat-pesawat komersial. Awan Cumulonimbus ini merupakan rumah halilintar, petir, es, dan mendatangkan angin badai. Apabila sebuah pesawat terbang pada area pertumbuhan awan Cumulonimbus, maka potensi udara vakum yang timbul akibat pertumbuhannya akan menyebabkan pesawat kehilangan ketinggian secara mendadak. Badai pada awan ini juga akan menimbulkan turbulensi hebat ke segala arah arah, sehingga akan sangat membahayakan struktur (badan) pesawat. Mengenai turbulensi dapat dibaca pada artikel saya sebelumnya “Mengapa Malaysia Airlines MH370 Bisa Menghilang pada Fase Paling Aman (Cruise)”. Dalam pertumbuhannya, awan Cumulonimnus akan menyerap sinar matahari sehingga menciptakan area gelap total di dalamnya, mulai ketinggian 3.000 meter sampai puluhan ribu meter dari permukaan laut sehingga akan menghalangi jarak pandang pilot. Oleh karena itu, maka awan Cumulonimbus adalah awan yang sangat berbahaya dan paling ditakuti dalam dunia penerbangan.

Awan Cumulonimbus tidak terlihat pada layar radar ATC sehingga ATC tidak dapat memberi panduan dan peringatan akan adanya Awan Cumulonimbus kepada para pilot. Namun, awan ini terpantau oleh pilot dalam penerbangannya, dan sebelum terbang pun pilot sudah mendapatkan informasi detil akan keberadaan awan ini pada rute yang akan dilaluinya melalui data analisa cuaca BMKG. Sehingga pilot pasti sudah mengetahui akan adanya Awan Cumulonimbus yang menghadang rute penerbangannya. Dengan demikian, pilot pasti akan membuat flight plan yang aman walaupun harus melalui rute udara berawan Cumulonimbus tersebut, entah itu menghindari awan ke kiri, ke kanan, atau dengan menaikkan ketinggian. Ini terlihat dari adanya permintaan pilot untuk bergeser ke kiri kemudian naik ke ketinggian 38.000 kaki untuk menghindari Awan Cumulonimbus sesaat sebelum hilang kontak.

14199276911486292700
Sebuah pesawat (di dalam kotak merah) milik Qantas Airlines, Australia, terbang menghindari gumpalan awan badai yang sangat besar sesaat sebelum mendarat. Pesawat tersebut terlihat sangat kecil dan hanya tampak seperti burung di dekat awan raksasa tersebut. Sumber gambar : WWW.TRAVELLER.COM.AU

ATC belum memberi izin pilot untuk menaikkan ketinggian dan meminta pilot untuk menunggu pada posisi stand by.

Setiap rute perjalanan pesawat di udara diatur dan ditandai secara elektronis oleh VORTAC (polisi lalu lintas udara). Dengan semakin banyaknya pesawat dan rute penerbangan, maka jalur lalu lintas udara juga semakin padat. Jalur lalu lintas udara diatur sedemikian rupa saling bertindihan dengan ketinggian yang berbeda-beda. Terdapat jalur penerbangan tingkat bawah yang berada di bawah ketinggian 5.500 meter yang diterbangi oleh pesawat-pesawat terbang rendah dan juga terdapat jalur penerbangan tingkat tinggi yang berada di atas ketinggian 5.500 meter yang biasa diterbangi oleh pesawat-pesawat jet komersial.

Jalur-jalur tersebut juga diatur dengan jarak aman minimal agar tidak terjadi collision (tabrakan) di udara. Jalur (jalan raya) udara dibentuk dengan cara menghubungkan titik-titik navigasi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Lebar jalur udara adalah 10 nm (nautical miles) atau sekitar 20 kilometer. Sedangkan jarak aman minimal antar pesawat secara mendatar adalah 5nm (10 km) dan secara vertical adalah 1.000 – 2.000 kaki (300 – 600 meter).

Beginilah gambaran pengaturan jalur lalu lintas udara, di mana pesawat-pesawat saling tumpang tindih secara teratur dengan ketinggian yang berbeda-beda, dengan mengikuti ketentuan jarak aman antar pesawat, baik secara lateral maupun vertical agar tidak terjadi tabrakan di udara. Sumber gambar : WWW.MIDRMA.COM, WWW.FLIGHTSAFETY.COM, dan WWW.AERO-NEWS.NET

Sehingga dapat dipahami mengapa pada saat itu ATC belum dapat memberi izin kepada pilot untuk menaikkan ketinggian karena ada 3 pesawat lain yang terbang searah pada jalur yang sama, di atas QZ 8501 (32.000 kaki) dengan ketinggian yang bervariasi yaitu, 34.000 kaki (AWQ 550), 35.000 kaki (EK 409), dan 38.000 kaki (AWQ 502); serta ada 3 pesawat lain yang terbang dalam jalur crossing dengan QZ 8501 dengan ketinggian bervariasi di atas QZ 8501. Dua menit kemudian, setelah jalur 34.000 kaki dinyatakan clear oleh ATC dan dapat dilalui, ATC mengontak QZ 8501 untuk meminta QZ 8501 naik ke ketinggian tersebut, namun QZ 8501 sudah tidak bisa lagi dikontak. Ini artinya, dalam rentang waktu 2 menit tersebut ada kemungkinan karena tidak bisa menghindar lagi akibat padatnya jalur udara di area tersebut, maka pesawat AirAsia QZ 8501 terpaksa memasuki gumpalan awan Cumulonimbus.

Awan Cumulonimbus. Pesawat tersebut memasuki gumpalan awan Cumulonimbus pada ketinggian 32.000 kaki, sedangkan pada saat itu ketinggian awan tersebut mencapai 52.000 kaki (hampir dua kali lipat ketinggian penerbangan QZ 8501), sehingga pesawat akan memasuki bagian tengah pertumbuhan awan berbahaya tersebut. Seperti diketahui, dalam pertumbuhannya, Cumulonimbus membentuk butiran es bermuatan positif (butiran es ukuran kecil) dan butiran es bermuatan negatif (butiran es berukuran besar), perbedaan muatan ini sangat erat kaitannya dengan badai, petir, serta aktivitas up and down draft di dalam awan yang dapat merusak struktur pesawat, shock, kebutaan sesaat, hingga disorientasi. Up and down draft juga erat kaitannya denganmicroburst sebagai penyebab adanya turbulensi yang sangat membahayakan pesawat terbang karena mampu menghempaskan sebuah pesawat jumbo jet, seperti kasus pesawat jumbo jet Boeing 747 milik maskapai China Airlines yang terhempas dari ketinggian 36.000 kaki menuju 30.000 kaki (baca: Mengapa Malaysia Airlines MH 370 Bisa Menghilang pada Fase Paling Aman (Cruise)) . Padahal ukuran pesawat milik maskapai China Airlines tersebut dua kali lebih besar dibandingkan dengan pesawat Airbus A320 AirAsia QZ8501. Selain itu ion positif dan negatif di dalam awan tersebut menyebabkan thunderstorm (badai guruh)yang mampu merusak sistem komunikasi pesawat, menyebabkan alat komunikasi mati, sehingga pilot tidak dapat lagi dikontak. Adanya butiran-butiran es di dalam awan tersebut juga dapat menyebabkan mesin pesawat mati, apabila butiran-butiran es itu terhisap oleh mesin pesawat.

Dari karakteristik awan berbahaya tersebut, kemungkinan besar ketika komunikasi pilot dengan ATC terputus, pesawat QZ 8501 tersebut terkena efek thunderstorm di dalam awan Cumulonimbus sehingga sistem komunikasi rusak/ mati. Karena sistem komunikasi rusak itu pula yang mungkin menyebabkan pilot juga tidak dapat mengontak ATC untuk mengirimkan pesan darurat sehingga ATC tidak menerima panggilan darurat sama sekali dari pesawat sebelum sebelum pesawat hilang kontak. Walaupun sistem komunikasi sudah rusak akibat efek thunderstorm, kemungkinan besar pesawat tersebut masih mengudara (berdasarkan data bahwa pada saat komunikasi terputus, pesawat masih tampak pada layar radar ATC). Kemudian ketika yang muncul pada layar radar ATC hanya sinyal ADSB-nya saja, sementara pesawat sudah hilang dari radar, kemungkinan besar pesawat tersebut terkena turbulensi hebat sehingga terhempas dari ketinggian yang terjangkau radar menuju ketinggian rendah yang sudah tak terjangkau radar, namun badan pesawat kemungkinan besar belum rusak mengingat sinyal ADSB pesawat tersebut masih terlihat pada layar radar ATC. Akhirnya, ketika pesawat dan sinyalnya hilang dari layar radar ATC, mungkin saja badan pesawat tersebut sudah jatuh menyentuh perairan.

Bagaimanapun artikel ini hanya berisi analisa. Apa yang sesungguhnya terjadi hanya dapat diketahui secara pasti apabila pesawat dan kotak hitamnya sudah ditemukan. Semoga saja pesawat QZ 8501 bisa segera ditemukan dan para penumpangnya diberi keselamatan di manapun mereka berada. Saat ini keluarga para penumpang telah dipindahkan dari ruang crisis center di Bandara Juanda untuk ditangani oleh DVI Polda Jatim terkait dengan dipastikannya lokasi pesawat tersebut di wilayah Pangkalan Bun oleh Basarnas dan sudah dimulainya evakuasi jenazah para penumpang.


Artikel ini juga dapat dibaca di sini.

Visits: 12304

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.