Menjaga Amanah (1): Penjaga Kebun yang Menjaga Amanah Pekerjaan
Menjaga Amanah. Alkisah, seorang saudagar kaya pemilik sebuah perkebunan Anggur yang sangat luas pada suatu hari sedang menengok kebun Anggurnya yang saat itu menjelang masa panen. Ia ingin mencicipi rasa buah Anggur di kebunnya. Tetapi, kebetulan para pekerja pemetik buah Anggurnya belum datang. Akhirnya, ia memanggil seorang penjaga kebun yang sudah bertahun-tahun ia percaya untuk menjaga kebun Anggurnya.
Saudagar itu berkata kepada si penjaga kebun, “Hai Hasan, bukankah ini sudah waktunya panen?”
“Betul, Tuanku.”, jawab Hasan, si penjaga kebun.
Sang saudagar kemudian berjalan mengelilingi kebun Anggur itu diikuti oleh si penjaga kebun. “Kalau demikian, petikkan aku satu tangkai Anggur yang manis.”, perintahnya kepada Hasan.
Hasan pun segera melaksanakan perintah tuannya. Dipetiknya setangkai Anggur dari salah satu pohon, kemudian diserahkannya kepada tuannya. Sepasang mata saudagar itu tampak berbinar-binar kala melihat betapa bagusnya wujud buah Anggur yang baru dipetik oleh penjaga kebunnya. Ia pun tak sabar untuk mencicipinya.
“Masam sekali rasa buah Anggur ini! Hasan, coba petik satu tangkai lagi untukku. Ingat Hasan, petik yang manis!”, perintah sang saudagar kepada penjaga kebunnya begitu buah Anggur yang ia cicipi rasanya sangat masam.
Tak lama kemudian, Hasan, sang penjaga kebun segera kembali dengan setangkai buah Anggur yang indah warnanya. “Ini tuanku.”, katanya seraya menyerahkan setangkai Anggur itu kepada sang saudagar.
“Yang ini juga masam sekali!”, serunya begitu ia mencicipi buah Anggur yang disodorkan oleh Hasan.
Saudagar itu kemudian memerintahkan Hasan, si penjaga kebun kepercayaannya itu untuk memetik buah Anggur lagi untuk ia cicipi. Tetapi, rasanya masih tetap sama. Buah Anggur yang dipetikkan oleh Hasan untuk dirinya rasanya benar-benar masam. Akhirnya, sang saudagar menjadi hilang kesabarannya.
“Hasan! Bagaimana kau ini! Bertahun-tahun kau telah bekerja di kebunku, tapi masih juga tidak bisa membedakan mana buah Anggur yang manis dan mana buah Anggur yang masam!”, kata sang saudagar dengan nada tinggi kepada Hasan.
“Benar Tuanku. Sampai sekarang saya memang tidak bisa membedakan mana buah Anggur yang manis dan mana buah Anngur yang masam. Sebab, bukankah tuanku mempekerjakan saya di sini hanya untuk menjaga Kebun Anggur tuanku, bukan untuk mencicipinya? Jadi, selama ini saya di sini hanyalah untuk menjaga kebun Anggur milik tuanku dan tidak pernah mencicipi buah Anggur milik tuanku. Sehingga saya tidak tahu mana buah Anggur di kebun tuanku ini yang manis dan mana yang masam.”, jawab di penjaga kebun.
Mendengar jawaban penjaga kebun kepercayaannya itu, sang saudagar langsung terhenyak. Kemarahannya pun langsung sirna. Ia hanya menatap dengan penuh keharuan ke arah penjaga kebun kepercayaannya yang ternyata selama ini selalu setia menjaga amanah pekerjaannya itu. Baca juga: Kisah Kebinasaan Raja dan Ratu yang Zalim.
Menjaga Amanah (2): Khalifah yang Menjaga Amanah Jabatan
Alkisah, pada suatu malam yang cerah dengan cahaya bulan dan bintang, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang duduk merenung di teras istananya dengan hanya diterangi oleh cahaya bulan dan bintang yang menembus sampai ke terasnya. Beliau sudah mematikan lampu-lampu ruang istananya, begitu rapat urusan negara dengan para pembesarnya usai. Tak lama kemudian, salah seorang rakyatnya datang menghadap. Sang khalifah dengan senang hati dan raut wajah ramah segera menyambut rakyatnya yang datang bertamu itu. Setelah menjawab salam tamunya, beliau menyalakan kembali lampu istananya, kemudian mempersilahkan tamunya untuk duduk.
“Apakah keperluan Anda datang di larut malam seperti ini?”, tanya Khalifah Umar kepada tamunya.
“Saya ingin mengadukan perihal saya , wahai Amirul Mukminin.”, jawab si tamu.
Sang khalifah tampak manggut-manggut. “Apakah perihal Anda itu berkaitan dengan urusan negara dan umat, ataukah murni urusan pribadi Anda sendiri?”, Khalifah Umar kembali bertanya kepada tamunya.
“Ini benar-benar masalah pribadi saya, wahai Amirul Mukminin. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan negara atau umat.”, jawab si tamu lagi.
Khalifah Umar tampak tersenyum arif, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Khalifah pun kembali mematikan lampu istananya. “Kalau demikian keperluan Anda. Sebaiknya saya mematikan lampu istana ini saja, biarlah cahaya bulan dan bintang itu yang menerangi pembicaraan kita ini. Karena saya tidak memiliki lampu pribadi. Seluruh lampu yang ada di istana ini bukanlah milik pribadi saya.”, ujar sang khalifah.
Si tamu tampak tidak mengerti. “Wahai Amirul Mukminin, mengapakah lampu istana ini tidak dinyalakan saja?”
“Saya tidak bisa menyalakan lampu ini. Lampu istana ini adalah milik umat dan negara. Saya tidak bisa menggunakan lampu milik umat dan negara ini untuk urusan pribadi, karena itu artinya saya telah merusak amanat jabatan saya. Kalau saya lakukan itu, niscaya saya dan Anda tidak akan mampu menanggung adzab Allah SWT kelak di hari akhirat. Ingatlah, adzab Allah SWT untuk orang yang merusak amanat adalah sangat dahsyat. Kita tidak akan mampu menanggungnya. Kita lebih mampu menahan kegelapan di dalam ruangan istana ini daripada menahan kegelapan di alam kubur dan alam akhirat kelak, yang bahkan kita pun tidak tahu apakah kita bisa selamat darinya atau tidak.”, jawab Khalifah Umar.
Mendengar jawaban Khalifah Umar bin Abdul Aziz, si tamu hanya terdiam. Ia merenungi dirinya, menyadari kebenaran kata-kata sang khalifah yang ternyata benar-benar sangat berusaha menjaga amanah jabatannya dengan sebaik-baiknya itu. Baca juga: Kisah Kebinasaan Raja dan Ratu yang Zalim.
Disarikan dari :
Romli HM., Usep. 2000. Percikan Hikmah (Berdialog dengan Hati Nurani). Penerbit: PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Views: 19213