Kebinasaan raja dan ratu yang zalim banyak dikisahkan di dalam buku-buku sejarah. Mereka telah melampaui batas dengan berbuat zalim, sewenang-wenang, menindas rakyat, dan menyombongkan dirinya. Ketika sudah mencapai puncaknya, maka Allah SWT membinasakan mereka. Kini, yang tersisa dari mereka untuk dikenang oleh peradaban manusia setelahnya adalah kisah tentang akhir yang tragis dan mengerikan dari seorang yang paling berkuasa di muka bumi pada zamannya. Tidak ada seorang manusia pun yang ingin bernasib sama dengan mereka, ketika mendengar kisah kebinasaan raja dan ratu yang zalim itu.
Allah SWT berfirman: “Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. Kami curahkan hujan yang lebat untuk mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa-dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan generasi yang lain setelah generasi mereka.” (Q.S. Al-An’am: 6)
“Dan betapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, (padahal) mereka lebih hebat kekuatannya daripada mereka (umat yang belakangan) ini. Mereka pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (dari kebinasaan bagi mereka)? Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Q.S. Qaf: 36 – 37)
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa.” (Q.S. As-Sajdah: 22)
Empat belas abad yang lalu, Allah SWT menceritakan kisah-kisah kebinasaan umat zalim terdahulu sebagai pelajaran bagi kaum muslim agar tidak meniru kezaliman umat-umat itu. Empat belas abad kemudian, pada masa peradaban manusia modern dimana sains dan teknologi berkembang cukup tinggi, maka kebenaran kisah-kisah itu pun mulai terungkap satu demi satu. Ditemukannya piramida yang berisi makam para fir’aun dari Mesir. Kemudian ditemukannya sisa-sisa kerangka Ratu Puabi dari Sumeria. Selain itu, masih banyak lagi sisa-sisa kehancuran peradaban dari umat-umat zalim terdahulu yang sudah ditemukan lokasinya dan bisa disaksikan oleh manusia saat ini. Namun, dalam artikel kali ini, penulis akan membahas tentang kisah kebinasaan raja dan ratu yang zalim, yaitu Ramses II sang fir’aun dari Mesir dan Ratu Puabi dari Sumeria.
Kebinasaan Raja dan Ratu yang Zalim: Ramses II sang fir’aun dari Mesir
Kerajaan Mesir Kuno adalah salah satu kerajaan adikuasa dengan peradaban yang sangat maju di dunia kuno. Peradabannya merupakan salah satu peradaban tertua di dunia. Ketika bangsa di wilayah nusantara baru mengenal tulisan pada sekitar abad keempat sesudah masehi, bangsa Mesir Kuno telah mengenal tulisan, Hieroglif, sejak lebih dari 3000 tahun sebelum masehi.
Allah SWT telah memberkahi mereka dengan sungai Nil yang membuat peradaban mereka menjadi yang paling maju pada zamannya. Di wilayah padang pasir yang jarang sekali turun hujan, pertanian mereka tumbuh subur, kehidupan mereka menjadi makmur. Semua itu ditopang oleh melimpahnya air sungai Nil, sehingga mereka tidak bergantung pada turunnya hujan. Oleh karena itu, apabila kerajaan Majapahit menguasai lautan untuk bisa menjadi kerajaan yang kuat dan besar, maka kerajaan Mesir Kuno menguasai sungai Nil untuk bisa menjadi kerajaan yang kuat dan besar. Dengan menguasai sungai Nil, kerajaan Mesir Kuno telah menguasai pertanian sekaligus jalur perdagangan dunia kuno.
Kerajaan Mesir Kuno dipimpin oleh seorang raja yang digelari fir’aun. Bangsa Mesir kuno menganggap fir’aun sebagai makhluk suci pemegang kekuasaan absolut (mutlak) yang bisa memenuhi kebutuhan dan memakmurkan rakyatnya. Bagi bangsa Mesir Kuno, fir’aun tiada lain tiada bukan adalah tuhan mereka dan mereka sangat patuh kepadanya. Bahkan Herodotus, seorang sejarawan dari Yunani Kuno, menyebut bahwa bangsa Mesir Kuno adalah bangsa yang paling patuh di dunia. Hal ini pun ditegaskan lagi berdasarkan sumber tertulis bahwa dalam ajaran agama resmi kerajaan Mesir Kuno, fir’aun adalah makhluk suci yang merupakan manifestasi dari tuhan-tuhan yang disembah oleh bangsa Mesir Kuno. Fir’aun ada di dunia ini untuk melindungi rakyatnya dan membawa keadilan di segenap penjuru wilayah kerajaan. Sedangkan perantara antara tuhan (fir’aun) dengan rakyat Mesir Kuno adalah para pendeta kepercayaan fir’aun. Para pendeta fir’aun dihimpun dari orang-orang yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu sihir dan perdukunan.
Karakter hampir semua fir’aun Mesir Kuno itu sama, yaitu bengis, brutal, suka menindas rakyatnya (terutama Bani Israil), gemar sekali berperang, dan gemar membunuh budak-budak yang dia tangkap. Mereka semua rata-rata penganut politeisme (menyembah banyak dewa) dengan menasbihkan dirinya sebagai perwujudan dewa-dewa itu di dunia. Fir’aun Mesir yang pertama adalah Raja Menes yang memerintah pada sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Ia seorang penganut politeisme. Satu-satunya fir’aun yang menganut monoteisme (menyembah hanya satu tuhan) adalah Amenhotep IV yang memerintah Mesir Kuno sekitar 1400 tahun sebelum masehi, sekitar satu abad sebelum masa pemerintahan Ramses II. Nah, Ramses II inilah yang menurut para ahli sejarah adalah fir’aun yang menindas Bani Israil dengan kejam dan mengejar Nabi Musa as. di Laut Merah, kemudian mati ditenggelamkan Allah SWT di laut tersebut.
Kebengisan dan kesewenang-wenangan fir’aun telah diabadikan di dalam Al-Qur’an: “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman. Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dia menindas segolongan dari mereka (bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qasas: 3 – 4)
Para fir’aun ini juga sangat gila hormat dan harus diagung-agungkan seluruh rakyatnya. Oleh karenanya, mereka gemar sekali mencitrakan diri sebagai ksatria-ksatria tangguh yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar yang kuat seakan-akan mampu mengalahkan beberapa lawan sekaligus. Untuk mewujudkan pencitraannya sebagai sosok ksatria tersebut, mereka membuat patung-patung raksasa sebagai perwujudan dirinya. Sisa-sisa patung raksasa itu masih bisa disaksikan sampai sekarang di situs-situs reruntuhan peradaban mereka di Mesir. Mereka juga memerintahkan para pemahat terbaik kerajaan untuk memahat diri mereka sebagai ksatria-ksatria gagah perkasa berbahu bidang. Jejak-jejak pahatan hiperbolis itu juga masih bisa ditemukan pada dinding-dinding piramida atau kuil-kuil kuno di Mesir. Padahal pada kenyataannya, berdasarkan hasil temuan arkeologis dari mumi-mumi fir’aun, tubuh mereka tidaklah tinggi besar, juga tidak tampak gagah perkasa.
Di zaman modern, Ramses II ini mirip dengan seorang diktator Jerman Nazi, Adolf Hitler. Hitler sangat berambisi memurnikan ras Arya. Oleh karena itu ia melakukan genosida (pembantaian besar-besaran secara sistematis untuk memusnahkan suatu suku/ras/bangsa) terhadap sekitar enam juta kaum Yahudi pada masa perang dunia pertama. Sementara itu, total korban jiwa yang timbul akibat kebijakan Hitler diperkirakan mencapai 11 sampai 14 juta orang dari berbagai suku bangsa.
Hampir serupa dengan Hitler, ribuan tahun sebelumnya, Ramses II memerintahkan kepada para hulu balangnya untuk menyembelih seluruh bayi laki-laki Bani Israil yang baru lahir. Ada beberapa versi mengenai alasan fir’aun memerintahkan penyembelihan terhadap bayi-bayi Bani Israil ini. Yang pertama, fir’aun mendapatkan informasi dari salah seorang pendetanya yang merupakan ahli nujum, bahwa kelak kekuasaannya akan berakhir di tangan seorang laki-laki Bani Israil. Yang kedua, fir’aun tidak ingin jumlah Bani Israil bertambah banyak.
Pada masa Ramses II inilah Nabi Musa as. lahir dan atas kehendak Allah SWT ia selamat dari penyembelihan, bahkan kemudian diangkat anak oleh fir’aun: “Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang Rasul. Maka dia dipungut oleh keluarga Fir’aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sungguh, Fir’aun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan istri Fir’aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,” sedang mereka tidak menyadari.” (Al-Qasas: 7 – 9)
Bertahun-tahun hidup di dalam istana megah fir’aun, Musa as. tidak sengaja membunuh seorang Mesir karena membela seorang Bani Israil yang dianiaya oleh orang Mesir itu. Walaupun anak angkat fir’aun, Musa as. tetap dijatuhi hukuman mati. Ia kemudian melarikan diri ke Madyan dan menetap di kota itu selama beberapa lama sampai kemudian tiba saatnya Allah SWT mengangkatnya menjadi rasul. Allah SWT lantas memerintahkannya kembali ke Mesir untuk menyampaikan risalah-Nya.
Musa as. kemudian tiba di Mesir. Ia berhadapan dengan fir’aun dan menyampaikan risalah-Nya, agar beriman kepada Allah SWT, menghentikan kebengisannya menyiksa Bani Israil dan membebaskan mereka. Akan tetapi, fir’aun dan kaumnya menolak mentah-mentah karena Bani Israil adalah budak mereka untuk membangun kerajaannya. Ia dan kaumnya tentu saja tidak mau kehilangan banyak budak. Fir’aun juga sombong, menganggap dirinya tuhan sehingga tidak mau beriman kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT kemudian mulai menurunkan bencana berupa musim paceklik dan kemarau sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah kemakmuran kembali ke bumi Mesir, mereka tetap ingkar.
Kemudian Allah SWT mengirimkan bencana yang lebih hebat lagi kepada fir’aun dan kaumnya, berupa angin topan, kemudian mewabahnya belalang, kutu, dan katak yang memenuhi seluruh penjuru negeri. Menurut Al-Qur’an, bencana itu masih ditambah dengan darah (air minum mereka berubah menjadi darah). Menurut ahli tafsir Kitab Perjanjian Lama, air yang menjadi darah adalah perubahan warna sungai Nil menjadi berwarna merah. Mereka kemudian meminta kepada Musa as. agar Allah SWT menghentikan bencana itu. Mereka pun berjanji akan beriman kepada Allah SWT dan membebaskan para budak dari kaum Musa as., Bani Israil. Akan tetapi, setelah Allah SWT menghilangkan bencana itu dari bumi Mesir, mereka mengingkari janjinya. Mereka tetap dalam kekafirannya. Mereka juga tetap menindas Bani Israil dengan kejam.
“Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir’aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui. Dan mereka berkata (kepada Musa), “Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami untuk menyihir kami, kami tidak akan beriman kepadamu.” Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu sesuai dengan janji-Nya kepadamu. Jika engkau dapat menghilangkan azab itu dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” Tetapi setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang harus mereka penuhi ternyata mereka ingkar janji. Maka, Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka di laut karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami.” (Q.S. Al-A’raf: 130 – 136)
Puncaknya, mereka hendak membunuh kaum Nabi Musa as., Bani Israil, dan orang Mesir yang mengikuti risalah-Nya. Mereka mengejar Musa as. dan pengikutnya sampai di tepi Laut Merah. Allah SWT kemudian mengilhamkan kepada Musa as. untuk memukulkan tongkat ke air laut, maka seketika itu juga, Laut merah terbelah menjadi jalur jalan yang kering. Sementara ombak yang menyibak di kanan kiri jalur jalan itu membentuk dinding air yang setinggi gunung. Musa as. pun mengajak kaumnya berlari melewati jalur jalan itu, sementara fir’aun dan bala tentaranya mengejar di belakang mereka. Ketika Musa as. dan seluruh pengikutnya telah sampai ke daratan seberang laut, Allah SWT memerintahkan kepada air laut untuk menyatu kembali seperti semula, sehingga fir’aun dan bala tentaranya yang masih berada di tengah jalur jalan berdinding air di tengah laut itu pun tenggelam. Maka itulah akhir kisah fir’aun Ramses II, si raja zalim yang mengaku dirinya tuhan itu. Akhir mengerikan dari kebinasaan raja dan ratu yang zalim.
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersamanya. Kemudian Kami tenggelamkan golongan yang lain. sungguh, pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.” (Q.S. Asy-Syu’ara’: 63 – 67)
“Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.” (Q.S. Al-A’raf: 137)
Kebinasaan Raja dan Ratu yang Zalim: Ratu Puabi dari Sumeria
Peradaban Sumeria terletak di kawasan Mesopotamia sekitar 2500 tahun sebelum masehi, tetapi ada juga sejarawan yang berpendapat sekitar 5500 sampai 4000 tahun sebelum masehi. Peradaban Sumeria sudah memiliki sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, yaitu Kerajaan Sumeria. Kerajaan ini memerintah peradaban Sumeria selama ribuan tahun dengan wilayahnya berada di sekitar Eufrat dan Tigris, yang sekarang termasuk wilayah Irak bagian selatan. Pada masanya bangsa Sumeria adalah bangsa dengan peradaban sangat maju. Rancangan tata kota mereka sangat brilian sehingga wujud kotanya sangat indah. Mereka juga menciptakan karya-karya arsitektur yang sangat megah dan indah.
Di Kerajaan Sumeria, ada seorang ratu yang sangat dikenal dalam sejarah, bernama Ratu Puabi. Ia hidup pada masa pemerintahan Dinasti Ur yang pertama, sekitar tahun 2600 sebelum masehi. Ratu ini sangat menyukai kemewahan. Kekayaannya tak terhitung lagi jumlahnya. Emas, perak, batu mulia (intan, permata), mutiara, istana megah, kereta, kuda, kebun, dan hamparan tanah yang ada di kerajaannya, semua adalah miliknya. Ia sangat cinta kepada harta bendanya. Sayangnya, dengan nikmat karunia yang seperti itu, Ratu Puabi tidak menjadi rendah hati. Ia justru bersikap amat sombong dan sewenang-wenang dengan menghina rakyatnya yang miskin.
Ia memerintahkan kepada para hulu balangnya agar kalau ia mati nanti, upacara kematiannya diadakan secara besar-besaran dan harta bendanya juga disertakan di makamnya sebagai bekal kubur. Benar saja, ketika Ratu Puabi wafat, upacara kematiannya diseenggarakan secara detil dan besar-besaran. Jasadnya dihias dengan sangat mewah dan cantik layaknya seorang ratu yang masih hidup. Kain berhiaskan untaian mutiara, bertatahkan batu mulia (intan, permata), dan manik-manik membungkus jasadnya. Sementara di kepalanya dipakaikan rambut palsu dan mahkota emas berhiaskan lembaran-lembaran daun emas. Itu belum cukup, para hulu balangnya juga menyertakan banyak sekali emas dan berbagai perhiasan bertatahkan batu mulia di sekitar jasad dan petinya. Setelah itu, jasadnya diantar menuju makamnya melalui prosesi yang sangat megah. Ratu Puabi pun akhirnya dimakamkan beserta seluruh harta bendanya yang ikut dimasukkan ke dalam makamnya. Lebih dari 4500 tahun kemudian, jasad Ratu Puabi ditemukan dengan emas-emasnya yang menutupi dirinya yang sudah tinggal tulang belulang. Sungguh akhir yang menyedihkan dari kebinasaan raja dan ratu yang zalim.
Referensi:
Yahya, Harun. 2002. Negeri-negeri yang Musnah. Penerbit Dzikra: Bandung.
______________. 2004. Fakta-fakta yang Mengungkap Hakikat Hidup. Penerbit Dzikra: Bandung
Views: 1318