Termenung pada senja hari di tengah suhu udara yang sangat dingin membuat saya teringat peristiwa unik beberapa tahun yang lalu ketika saya berada di ibukota negeri tercinta, Jakarta. Maka, mengalirlah tulisan tentang kisah itu.
Suatu siang, saya menjemput seorang teman yang baru datang dari New York. Ini adalah kunjungan pertamanya ke Indonesia. Namun, sesungguhnya Indonesia tidak terlalu asing di telinganya. Karena di negara asalnya teman saya itu sering mendengar cerita tentang Indonesia dari sesama teman Amerikanya yang pernah berkunjung ke Indonesia, juga dari rekan kerjanya yang orang Indonesia. Dan tak urung saya juga telah mewanti-wantinya perihal Indonesia jauh hari sebelum keberangkatannya ke negeri ini.
Begitu mobil yang kami tumpangi keluar dari tol Bandara Soukarno-Hatta, kemacetan parah terjadi di berbagai ruas jalan utama. Teman saya begitu kaget melihat situasi jalan-jalan di Jakarta yang penuh sesak oleh kendaraan dan sangat meriah oleh suara klakson yang saling bersahutan.
Ia terlihat sangat terkejut. Dalam bayangannya, stereotip negara berkembang –yang bahkan pada satu dekade terakhir pasca orde baru pernah menjelma menjadi salah satu ikon negara miskin– adalah jalanan yang kecil, sepi dan lengang dari lalu lalang kendaraan, ditambah dengan bangunan-bangunan sederhana, serta hamparan pemandangan alam hijau seperti yang selalu ia dengar dan baca di buku-bukunya, bahwa negeri ini adalah zamrud khatulistiwa.
Namun realitanya adalah, kemacetan parah karena terlalu padatnya kendaraan pengguna jalan. Gedung-gedung pencakar langit modern yang tak kalah indah dengan New York, kota asal teman saya itu. Ia bahkan lebih kaget lagi ketika mobil yang membawa kami telah melintasi seputaran SCBD (Sudirman Central Bussines District), banyak mobil-mobil sekelas Jaguar, Ford, Audi, BMW, dan Marecedes Benz yang di Amerika pun juga termasuk golongan kendaraan kelas menegah atas, berseliweran meramaikan jalanan Jakarta.
Katanya rakyat Indonesia itu miskin, tapi mengapa banyak yang mampu membeli mobil-mobil mewah semacam ini? Itu pertanyaannya yang pertama. Mengapa di negara yang katanya tergolong miskin ini, kegiatan bisnis sangat marak dan menempati gedung-gedung pencakar langit dengan arsitektur yang mewah? Mengapa banyak sekali mall-mall mewah dengan banner iklan dari produk-produk branded asal Eropa dan Amerika bertebaran? Apakah ada yang mampu membelinya?
Saya jawab, bahwa Negara Indonesia ini memang negara berkembang dengan angka kemiskinan yang menurut WHO mencapai 100 juta jiwa, namun sebagian rakyat Indonesia tidak miskin. Mereka mampu membeli kemewahan yang mereka inginkan. Apakah itu apartemen, rumah, apalagi hanya sekedar mobil. Masyarakat di sini juga giat sekali berbisnis. Sektor perkantoran dan investasi sangat pesat perkembangannya. Masyarakat di sini juga gemar membeli barang-barang branded. Mereka tidak segan-segan untuk memborongnya, bahkan bila perlu akan berburu sampai ke luar negeri untuk mendapatkannya. Mendengar penjelasan saya yang masih belum sempurna itu, ia tambah geleng-geleng kepala. Mungkin ia bingung sekali dengan fenomena yang tak lazim ini. Semakin kami menjelajahi Kota Jakarta, maka teman saya itu semakin bertambah bingung dan tidak mengerti.
Suatu sore di Stasiun Gambir.
Sore itu kami sedang menanti kereta api eksekutif Gajayana yang akan membawa kami ke Malang. Teman saya itu begitu takjub, sampai-sampai langsung mengeluarkan handycamnya. Apa yang disaksikannya adalah serangkaian gerbong kereta api ekonomi jurusan Jakarta – Bogor yang sedang lewat membawa penumpang yang pulang dari tempat kerjanya. Suasana kereta itu sangat padat. Penumpang berjejalan sampai setengah tumpah, bergelantungan di ambang pintu kereta api yang terus terbuka. Bahkan, orang – orang yang tidak kebagian tempat di dalam kereta, menyemut duduk di atas atap kereta (Untungnya saat ini kejadian seperti itu sudah jauh berkurang karena petugas stasiun telah berinisiatif menindak para penghuni atap kereta itu dengan semprotan zat pewarna makanan. Bahkan menurut berita terakhir yang saya baca, di setiap stasiun Jabodetabek sudah mulai diberlakukan sistem tiket elektronik).
“Wow, yang seperti ini tidak pernah saya saksikan di Amerika. Ini benar-benar unik!”. Komentarnya tentang realitas perkeretaapian di Indonesia itu membuat saya tersentak. Apa iya ya Indonesia unik? Rasanya saya tidak menemukan keunikannya. Saya hanya menemukan realita tentang membahayakan nyawa manusia. Mungkin teman saya itu melihat kondisi tersebut dari sudut pandang ketakjuban. Entahlah.
Beberapa menit berikutnya, raut wajah teman saya itu menjadi tegang dan cemas, berkali-kali ia melirik arlojinya. Apa pasal? Kereta yang seharusnya membawa kami ke Malang seharusnya berangkat pukul 17.10 WIB (Jadwal pada saat itu). Jam waktu itu sudah menunjukkan pukul 17.15, sementara kereta belum juga menampakkan batang lokomotifnya. Teman saya itu celingak-celinguk ke sana kemari, mungkin mencari-cari penumpang yang juga sama paniknya dengan dirinya. Tetapi ia tidak menemukan seorang penumpang pun yang terlihat bingung dan panik, termasuk saya. Kerumunan penumpang yang menyemut di peron jalur 1 masih asyik berbincang-bincang dan bercanda ria. Berkali-kali ia menengok arlojinya, kemudian melihat jam gantung stasiun. Ia pun mengeluarkan secarik tiketnya, dan mengamati jam keberangkatan kereta yang tertera dalam lembaran tiket itu.
“Tenang saja, nanti keretanya juga akan muncul sendiri.”, kata saya pada akhirnya. Sejujurnya saya sendiri pun bingung bagaimana harus menjelaskan fenomena aneh ini. Tidak enak rasanya apabila saya mengatakan bahwa jadwal kereta yang tidak tepat waktu sudah menjadi kebiasaan di negeri tercinta. Jangankan kereta, pesawat saja bisa terlambat berangkat hingga lebih dari satu jam, atau bahkan jika sedang apes bisa delayed tanpa alasan. Apalagi ini kereta api. Masih untung kalau terlambatnya hanya setengah jam sampai satu jam, kalau sedang apes bisa juga sampai berjam-jam. Jika saya mengatakan sejujurnya seperti itu, berarti saya membuka aib bangsa saya sendiri. Saya mengghibah bangsa saya sendiri. Ah, biarlah teman saya itu mengetahui dengan sendirinya. Lama-kelamaan ia pasti akan mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini, pikir saya saat itu. Akhirnya saya putuskan untuk hanya mengatakan, “Anda akan menjadi orang yang sangat sabar dan sangat toleran jika Anda sudah lama tinggal dan mengikuti ritme hidup orang Indonesia.”, dan setelah itu saya mengunci bibir saya rapat-rapat.
“Iya, si Frank teman saya itu, setelah empat tahun tinggal di Indonesia sekarang berubah drastis. Ia menjadi orang yang sangat santai, bahkan seringkali terlambat bila ada janji dengan alasan terjebak macet.”, Ia menyahuti komentar saya.
Mikrolet yang unik.
Dari sepenggal kejadian itu, masih tersimpan kelanjutan aneh lagi. Suatu hari, teman saya itu saya ajak naik mikrolet. Pangkal masalahnya adalah ketika kami hendak turun dari mikrolet. Kebetulan tempat duduknya lebih dekat dengan sopir. Ia bertanya kepada saya bagaimana caranya mengatakan bahwa kita akan turun. Saya lalu menyuruhnya mengatakan ‘kiri Bang’. Sejenak ia mengerutkan keningnya, lalu menunjukkan mimik bingung. Lalu ia bertanya kepada saya “Kiri itu dalam bahasa Inggris apa artinya?”. Saya jawab “Left.”. Akhirnya ia berseru kepada sopir “Kiri Bang.”
Setelah turun dari mikrolet, ia bertanya lagi kepada saya kalau “stop” itu bahasa Indonesianya apa. Lalu saya jawab “berhenti”. Dia langusng mencecar saya, mengapa saya tadi tidak menyuruhnya mengatakan “berhenti”, mengapa harus “kiri”. Di situ saya langsung diam, tidak dapat menjawab apa-apa.
Saya pikir, benar juga apa yang dikatakan oleh teman saya itu. Kenapa kita mengatakan berhenti dengan kiri? Jadi kalau kita hendak belok kiri kita mengatakan apa ya? Jika kita mengatakan berhenti maknanya apa ya? Tapi akhirnya saya mengatakan, bahwa itu hanya bagian dari istilah penuturan lisan, atau ekspresi bahasa yang tidak baku, yang seringkali hanya dapat dimengerti oleh penutur bahasa lokal saja. Dan tidak dimengerti secara gramatikal. Teman saya itu tampak puas dengan penjelasan saya. Padahal saya sendiripun tidak tahu apakah penjelasan saya itu benar atau tidak.
Akrobat di gedung pencakar langit.
Satu kejadian lagi yang membuat saya setengah tertawa dan setengah prihatin. Ceritanya, pada waktu itu kami sedang melewati sebuah gedung pencakar langit milik sebuah perkantoran besar di Jalan Jenderal Sudirman. Tiba-tiba teman saya itu minta agar mobil yang membawa kami berhenti. Ia langusng mengeluarkan handycam-nya. Dalam hati, saya merasa akan ada sesuatu yang terjadi, yang bagi saya memprihatinkan namun dianggap lucu oleh teman saya itu. Benar saja, ia ternyata membidik dua orang petugas pembersih kaca menara yang sedang bekerja, hanya dengan peralatan seadanya tanpa alat pengaman.
Teman saya mengira, bahwa kedua orang itu sedang mengadakan pertunjukan akrobatik untuk memecahkan rekor atau penghargaan unik, seperti yang lazim dilakukan oleh orang Amerika bernyali ekstrem. Cukup sudah kesabaran saya. Akhirnya saya mengatakan bahwa kedua orang itu tidak sedang mengadakan pertunjukan, tetapi sedang bekerja membersihkan kaca menara.
Teman saya terkejut mendengar penuturan saya. Ia secara spontan langsung bertanya tentang asuransi kecelakaan, standarisasi alat-alat pengamanan, dan sistem kerjanya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang lagi. Sehingga saya katakan bahwa jangankan standarisasi alat pengaman, untuk mengurus keluarnya dana asuransi saja terkadang prosedurnya cukup berbelit-belit. Apalagi berbicara tentang masalah keamanan dan jaminan kerja. Sudah beruntung jika mereka dapat bekerja seperti itu, di tengah situasi yang serba sulit untuk mendapatkan perkerjaan di negeri ini.
Akhirnya,
Saya menyadari bahwa orang Indonesia unik dan memang sangat aneh. Ini seperti yang pernah ditulis oleh Jaya Suprana pada sebuah artikelnya “Gemar Membuat Rekor”. Fenomena yang ironis ini menunjukkan bahwa secara makro, Indonesia memang memiliki kemampuan eknomi kolektif yang relatif rendah, namun kemampuan ekonominya secara individual sangat tinggi. Bahkan tidak kalah bersaing dengan kemampuan individu dari golongan warga negara menegah atas di negara-negara maju.
Ini terbukti dengan pasaran mobil-mobil impor mewah yang selalu terserap habis di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan jika kita melihat pameran-pameran properti seperti yang sering digelar di JCC atau di hotel-hotel berbintang (contoh: pameran properti mewah negara sekaligus benua tetangga berharga puluhan milyar yang sering diadakan di Grand Hyatt), maka kita akan menemui bahwa apartemen-apartemen dan rumah-rumah yang berharga ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah itu laris manis bak kacang goreng diserbu oleh para pembeli lokal. Lebih jauh lagi, saya pernah membaca bahwa sebagian properti yang ada di negara maju seperti Singapura, Negara-negara Arab, Swiss, sampai Amerika Serikat, dan Australia, sebagian besar dibeli oleh orang-orang Indonesia. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah adanya segelintir konglomerat Indonesia yang mampu membeli pulau pribadi di luar negeri, dan tak sedikit pula yang menginvestasikan dananya keluar negeri dalam jumlah jutaan dolar per individu.
Banyak sekali individu Indonesia yang memiliki aset pribadi dari miliaran rupiah hingga puluhan triliun rupiah. Sementara OKB (Orang Kaya Baru) yang lahir akhir-akhir ini, terutama dari industri hiburan dan investasi, semakin tak terhitung seiring dengan amburadulnya perekonomian negara. Ada jutaan jumlah jutawan, ribuan jumlah miliarder, dan puluhan bahkan mungkin ratusan jumlah triliuner di Indonesia. Ada ratusan ribu mobil terserap di pasaran setiap tahunnya. Ada jutaan mobil yang berkeliaran di seluruh penjuru Jakarta. Betapa bisnis properti tumbuh sangat pesat di negeri ini, hingga sempat mengalami over demand dan habis dipesan sebelum selesai dibangun. Semua itu adalah suatu indikator bahwa kemampuan individu rakyat Indonesia sangat tinggi sementara kemampuan kolektifnya sangat rendah.
Jika hanya sekitar 3% – 4% saja dari total penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan individual sangat tinggi, namun mampu merepresentasikan imej negeri ini di kalangan orang asing yang datang dan melihat secara sekilas negara Indonesia, maka fenomena apakah ini?
Di tengah kemiskinan yang semakin merajalela dan disparitas ekonomi yang semakin jelas terlihat, keuntungan pebisnis investasi mewah (seperti : rumah mewah, mobil, apartemen, kondominium, saham, valuta asing, dan perhiasan) juga semakin tinggi. Kekayaan orang-orang yang bergerak di bidang bisnis kalangan atas ini semakin tinggi seiring dengan semakin bertambahnya kemiskinan kolektif. Hal ini karena 70% peredaran uang berada di ibukota dengan lingkup dan jaringan yang itu-itu saja. Sehingga secara sepintas terlihat bahwa standar hidup masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya memang sangat tinggi dan sudah sangat sejahtera. Padahal fenomena itu hanya dialami oleh segelintir orang saja dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa.
Sementara di sisi lain, kehidupan di tepian rel kereta api, di bantaran sungai, di atas tanah-tanah kosong milik negara, jauh dibelakang hutan-hutan beton Jakarta, serta di bawah kolong-kolong jalan layang, tidak pernah berubah. Bahkan semakin mengenaskan dan memprihatinkan. Rumah-rumah petak, rumah kardus, dan rumah papan dengan ukuran yang sangat jauh dari memadai, dan tidak akan mampu melindungi penghuninya dari terpaan hujan dan angin dingin, menjadi penanda adanya jarak dan dinding yang terentang di antara kesejahteraan dan kemiskinan.
Kesejahteraan dan kekayaan semakin mendinding terhadap ketidakberdayaan dan kemiskinan. Si anak emas adalah siapa yang paling banyak menyedot dana dari bank alias yang paling banyak hutangnya kepada bank. Sementara anak tiri adalah siapa yang tidak memiliki akses berhutang kepada bank. Pada intinya, kesejahteraan adalah milik kaum multi hutang atau miliarder hutang. Padahal para miliarder hutang itu hidup bermewah-mewahan di atas hutang dalam jumlah yang fantastis. Sehingga dapat dipastikan, bahwa kemampuan individual mereka akan meningkat pesat seiring dengan meningkatnya jumlah utangnya di bank.
Akhirnya saya menjadi bingung sendiri dengan fenomena yang saling bertentangan dan tidak merunut pada pemikiran yang logis ini. Mungkin fenomena yang aneh dan kacau balau seperti yang menimpa masyarakat di negeri tercinta, merupakan representasi dari jiwa sebagian masyarakatnya yang juga aneh dan kacau balau.
Artikel ini juga dapat dibaca di sini.
Views: 200
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.