Rumah di dunia merupakan rumah yang menjadi tempat tinggal manusia selama hidupnya di dunia ini, mulai dari lahir sampai akhir hidupnya. Sedangkan rumah di akhirat merupakan tempat tinggal manusia setelah masa hidupnya di dunia ini berakhir. Manusia akan mulai melihat bagaimana rupa rumah di akhirat miliknya pada saat pandangan matanya melihat mengikuti ruhnya keluar dari jasad.

Membangun Rumah di Dunia vs. Rumah di Akhirat
Membangun Rumah di Dunia vs. Rumah di Akhirat

Membangun Rumah di Dunia

Berapa banyakkah usaha yang kita kerahkan untuk membangun tempat tinggal kita, yaitu rumah di dunia ini? Sedari kecil kita bersusah payah menempuh bangku sekolah, mulai TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Setelah itu kita bersusah payah mendapatkan pekerjaan. Hasilnya? Kita kumpulkan sedikit demi sedikit untuk membangun kehidupan masa depan kita, mempersiapkan masa tua kita. Kita mulai menabung agar bisa membangun rumah, kemudian memperbaiki rumah itu sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi sebuah rumah yang megah. Kita pun menyisihkan hasil jerih payah kita agar bisa mengisi rumah dengan berbagai perabot yang bagus-bagus, mengisi garasi rumah dengan deretan mobil-mobil mewah, mempercantik tampilan halaman rumah dengan tatanan taman yang indah. Kita bisa memandang bangunan rumah dan segala isinya yang telah kita bangun dengan susah payah bertahun-tahun melalui hasil jerih payah kita bekerja setiap hari, mulai pagi-pagi buta sampai petang hari, dengan rasa bangga. Akhirnya, hasil jerih payah bekerja siang malam yang penuh rasa letih dan kepayahan itu pun terbayar sudah dengan hasil kesuksesan yang bisa terlihat. Pada intinya, untuk bisa membangun rumah di dunia, kita harus berusaha menyisihkan dana kita di tabungan pribadi agar bisa membangun rumah impian di dunia ini.

Ketika nyawa telah sampai di kerongkongan, maka itulah saat terakhir kalinya kita bisa melihat dunia, rumah yang kita tinggali selama ini, keluarga, dan harta kita. Kemudian pandangan mata kita terhadap dunia akan tertutup selamanya dan mulailah hijab yang menutupi pandangan kita selama ini tersingkap. Pada saat itulah kita mulai bisa melihat seperti apakah rupa bangunan rumah tinggal kita di akhirat nanti.

Lalu sampai berapa lamakah kita tinggal di rumah itu? Berapa lamakah kita bisa menikmati hasil jerih payah kita menyisihkan penghasilan untuk bisa tinggal di rumah yang kita bangun? Mungkin sampai usia kita tua renta, 80 tahun, 90 tahun, ataukah 100 tahun? Mungkin juga kurang dari itu? Atau mungkin sebelum kita selesai membangun rumah seperti yang kita impikan, kita bahkan harus meninggalkan rumah itu selama-lamanya karena kedatangan maut yang tidak bisa kita tolak? Ketika nyawa telah sampai di kerongkongan, maka itulah saat terakhir kalinya kita bisa melihat dunia, rumah yang kita tinggali selama ini, keluarga, dan harta kita. Kemudian pandangan mata kita terhadap dunia akan tertutup selamanya dan mulailah hijab yang menutupi pandangan kita selama ini tersingkap. Pada saat itulah kita mulai bisa melihat seperti apakah rupa bangunan rumah tinggal kita di akhirat nanti.

Pada saat sakaratul maut, ketika ruh (nyawa) seorang hamba telah sampai di kerongkongan, dan malaikat yang diutus telah membentangkan sayapnya untuk memperlihatkan tempat tinggalnya kelak di akhirat, kemudian yang lihatnya pada saat akhir itu adalah rumah neraka, maka dia ingin nyawanya kembali ke jasadnya agar dia bisa memperbaiki amalnya di dunia supaya bisa bertempat tinggal di syurga. Tetapi semua sudah terlambat. Karena pada saat ruh seorang hamba telah bisa melihat rupa malaikat maut yang mencabut nyawanya, maka pada saat itulah pintu taubat tertutup, buku catatan amal pun ditutup, dan malaikat pencatat amal (Roqib dan Atit) juga meninggalkannya karena tugasnya telah selesai. Tidak ada lagi jalan kembali. Kehidupan dunia yang menjadi ladang tempatnya beramal kini telah berlalu menjadi masa lampau. Ruh itu telah melihat dan menyaksikan, tetapi sudah tidak mampu lagi beramal dan memperbaiki diri, sebab waktu untuk beramal, bertaubat, dan memperbaiki diri telah berlalu. Saat itu dia telah menapaki kehidupan di alam selanjutnya, yaitu alam penantian menunggu putusan di Hari Perhitungan Hisab.

Allah SWT berfirman: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak! Sungguh itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (dinding) sampal pada hari mereka dibangkitkan. Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari kiamat), dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (Q.S. Al-Mu’minun: 99 — 101)

Membangun Rumah di Akhirat

Wujud rumah kita di akhirat nanti akan mulai bisa kita lihat pada saat detik-detik sakaratul maut, ketika nyawa telah sampai di kerongkongan dan pandangan mata kita kepada dunia mulai tertutup untuk selamanya, maka pandangan ruh kita terhadap akhirat akan mulai terbuka. Dan pada saat inilah wujud rumah tinggal kita di akhirat kelak mulai ditampakkan.

Rumah di akhirat adalah rumah yang akan menjadi tempat tinggal abadi kita kelak di akhirat. Wujud rumah kita di akhirat nanti akan mulai bisa kita lihat pada saat detik-detik sakaratul maut, ketika nyawa telah sampai di kerongkongan dan pandangan mata kita kepada dunia mulai tertutup untuk selamanya, maka pandangan ruh kita terhadap akhirat akan mulai terbuka. Dan pada saat inilah wujud rumah tinggal kita di akhirat kelak mulai ditampakkan. Apakah pada saat itu kita akan melihat wujud rumah kita di akhirat kelak adalah sebuah tempat yang indah penuh kebahagiaan abadi, yaitu syurga? Ataukah kita akan melihat wujud rumah kita di akhirat kelak adalah sebuah tempat yang sangat menakutkan penuh kesengsaraan abadi, yaitu neraka? Semua itu tergantung pada usaha kita selama tinggal di alam dunia ini untuk membangun rumah kita di akhirat kelak.

Membangun rumah di akhirat tidak sama caranya dengan membangun rumah di dunia. Kalau kita membangun rumah di dunia dengan mengumpulkan uang dan menyimpannya di rekening pribadi, untuk kemudian kita belanjakan bahan dan material bangunan. Maka rumah di akhirat hanya bisa dibangun bukan dengan menyimpan uang dan harta itu hanya untuk diri kita sendiri, melainkan dengan mengeluarkan uang dan harta benda yang kita miliki untuk kepentingan sesama makhluk dan menunaikan hak-hak Allah yang terdapat dalam harta kita, misalnya bersedekah; beramal jariyah; berwakaf; membayar zakat fitrah maupun zakat mal (harta); memberikan pinjaman kepada yang kesulitan dengan cara yang memudahkan dan tidak mendzalimi (baca: mendzalimi=mengenakan bunga riba’); menyantuni anak yatim, fakir miskin, dll; memberi makan yang kelaparan; membantu membayarkan hutang orang yang benar-benar kesulitan membayar hutang (padahal sudah berusaha); membantu sanak keluarga yang kekurangan; dan sebagainya.

Prinsip membangun rumah di dunia: Semakin kikir, bakhil, dan pelit kita dalam mengeluarkan harta dan semakin banyak kita menyimpan (menimbunnya) untuk diri kita sendiri, maka modal kita untuk membangun rumah megah di dunia akan semakin besar.

Apabila rumah di dunia bisa dibangun dengan semakin megah seiring dengan semakin kikirnya kita mengeluarkan harta untuk beramal, maka di akhirat nanti, yang akan semakin megah seiring dengan semakin kita memelihara sifat kikir (bakhil) adalah rumah tinggal di neraka. Sedangkan rumah di akhirat yang berupa syurga baru akan bisa dibangun dengan menghilangkan sifat kikir (bakhil) dan memelihara sifat kedermawanan.

Orang yang kikir bin bakhil tidak akan mendapat tempat tinggal yang baik di negeri akhirat kelak. Bahkan memelihara sifat kikir (bakhil) bisa mendatangkan kebangkrutan dan kecelakaan besar kelak di hari pembalasan seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Milik Allahlah warisan (apa yang ada) di langir dan di bumi. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 180)

Prinsip membangun rumah di akhirat: Semakin lenyap sifat kikir (bakhil) kita, dan semakin kita memelihara sifat kedermawanan dengan semakin banyak mengeluarkan harta benda kita di jalan Allah SWT dengan ikhlas tanpa disertai sifat riya’ (pamer), dan tidak menimbunnya untuk diri sendiri saja, maka modal kita untuk membangun istana megah di akhirat (syurga) akan semakin besar.

Perbandingan Rumah di Dunia vs. Rumah di Akhirat

Yahya bin Mu’adz berkata, “Bagaimana aku tidak mencintai hidup ini dimana aku bisa mendapatkan bekal, mendapatkan kebutuhanku untuk beribadah kepada Allah agar aku bisa mendapatkan syurga-Nya.” (Tazkiyatun-Nufus, hal.128)

Bilal bin Sa’d berkata: “Wahai orang yang bertaqwa! Kamu tidak diciptakan untuk binasa, akan tetapi untuk dipindahkan dari suatu tahapan ke tahapan yang lain. Kamu dipindahkan dari sulbi ayahmu ke dalam rahim ibumu, dan dari rahim ke dalam kehidupan dunia ini, dan dari kehidupan dunia ini ke pusara, dan dari pusara ke Padang Makhsyar (tempat berkumpulnya manusia pada Hari Kebangkitan), dan dari Padang Makhsyar ke tempat tinggal yang abadi, entah di syurga atau neraka.”(As-Siyar, Jilid 5, hal. 91)

Tetapi kebanyakan dari kita merasa bahwa seakan-akan kehidupan yang paling utama itu adalah kehidupan di dunia ini. Kita berusaha bersusah payah setiap hari, dari pagi sampai petang, sebagian besar adalah untuk kehidupan dunia. Berapa banyakkah yang kita usahakan untuk kehidupan akhirat kita? Berapa banyakkah yang kita usahakan untuk membangun rumah di akhirat yang sesungguhnya merupakan rumah tinggal abadi kita yang sebenarnya?

Orang yang selalu menghisab (mengintrospeksi) dirinya sendiri akan sadar sepenuhnya bahwa keberadaannya di dunia ini hanyalah untuk mengumpulkan bekal yang sebanyak-banyaknya dalam jatah waktu yang sangat terbatas, agar bisa menghadapi kehidupan selanjutnya yang jauh lebih panjang masanya. Sebuah babak kehidupan baru dimana lama satu harinya sama dengan seribu tahun waktu dunia, dimana kebahagiaan dan kesengsaraannya, serta keindahan dan keburukan rumah tinggalnya tergantung sepenuhnya dari apa saja yang sudah kita usahakan selama kita tinggal di dunia dalam jatah waktu yang singkat ini.

Allah berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.” Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui. Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al-Mu’minun: 112 — 115)

Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. Al-Hajj: 47)

Seandainya kita diberitahu bahwa kita hanya boleh tinggal di kampung kita selama setahun saja, dan kemudian diharuskan pindah ke kampung lain untuk seterusnya, maka apakah kita masih akan berusaha membangun dan merenovasi rumah kita di kampung yang lama? Sudah pasti kita akan menyimpan dana kita untuk persiapan membeli lahan dan membangun rumah di kampung baru yang akan kita tempati seterusnya. Itulah hakikatnya kampung dunia dan kampung akhirat.

Tetapi, dalam masalah kampung dunia dan kampung akhirat, kita malah sering lupa. Kita malah lebih sibuk membangun dan mempercantik tempat tinggal atau rumah di dunia yang hanya kita tinggali dalam jatah waktu singkat ini. Kita lupa untuk membangun dan mempercantik rumah kita di akhirat kelak yang akan kita tinggali dalam masa yang abadi, dimana satu harinya sama dengan seribu tahun waktu dunia ini.

Diceritakan bahwa Nabi Isa as pernah berkata kepada muridnya: “Siapakah yang mau membangun rumah di atas gelombang samudera? Inilah perumpamaan dunia, maka jangan kau anggap dia sebagai tempat tinggal yang tetap.” (ami’ul-Ulum wal Hikam, hal. 379)


Referensi:

Al-Qasim, Abdul Malik bin Muhammad. 2000. Mampir Ngombe (Tamsil Kesenangan Duniawi). Mitra Pustaka: Yogyakarta.

Views: 1389

Leave a Reply