COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_waringins_op_de_alun-alun_bij_de_ingang_van_de_kraton_van_de_sultan_van_Jogjakarta_TMnr_60022716
Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta Tempo Dulu. Sumber Gambar: https://commons.wikimedia.org

Sebagian besar ruang publik yang ditemui di kota-kota Indonesia saat ini seperti plaza, mall, dan taman kota, banyak yang mengadopsi konsep ruang publik Eropa.  Padahal, konsep ruang publik Eropa jauh berbeda dengan konsep ruang publik di Indonesia. Masyarakat Eropa menggunakan ruang publik seperti taman kota dan plaza sebagai sarana rekreasi aktif sehingga ruang publik harus memenuhi aspek visual. Oleh karena itu, ruang-ruang publik di Eropa didesain dan dibangun secantik mungkin dengan hamparan rumput sebagai penutup tanahnya, kemudian bunga-bunga beraneka warna sebagai elemen penunjang estetis, dan bangku-bangku taman untuk tempat duduk-duduk menikmati indahnya taman. Hal ini sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa menggunakan ruang publik seperti taman kota untuk beraktivitas karena (Hartoyo Kunto, 1986) mereka lebih sering menggunakan bagian depan rumahnya untuk beraktivitas dalam lingkup komunal.

Selain itu masyakarat Eropa mengenal konsep single use dalam penggunaaan ruang, sementara masyarakat Indonesia lebih akrab dengan konsep multi use, artinya satu ruang bisa digunakan untuk berbagai fungsi. Sebagai contoh, masyarakat Eropa menggunakan ruang publik seperti taman kota untuk sarana rekreasi aktif (seperti refreshing dan duduk-duduk menikmati indahnya taman bersama dengan hewan peliharaan mereka, dsb), sementara ketika berolah raga seperti main bola, mereka menggunakan arena khusus, yaitu lapangan sepak bola. Lain halnya, taman kota di banyak kota Indonesia sekali waktu dipakai sebagai tempat refreshing, sekali waktu digunakan sebagai tempat kumpul-kumpul untuk sekedar berbincang-bincang menikmati sore hari, sekali waktu dipakai sebagai tempat berkumpulnya komunitas untuk mengembangkan minat (contoh: para seniman biola lokal pada hari Minggu sering berkumpul di Taman Suropati, Menteng untuk saling belajar keahlian bermain biola), sekali waktu digunakan pula oleh anak-anak untuk bermain bola, sekali waktu pula juga digunakan sebagai tempat jual beli pedagang keliling, dsb.

Oleh karena itu, desain taman kota dengan hamparan rumput hijau sebagai penutup tanah ditambah dengan jalur-jalur taman yang teratur, dan berbagai macam jenis vegetasi berbunga indah sebagai elemen visual estetis cocok diterapkan di Eropa karena memang sesuai dengan konsepnya, tetapi kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh akibat dari penerapan konsep taman kota Eropa di Indonesia, banyak rumput-rumput di taman kota rusak terinjak-injak karena dipakai untuk bermain sepak bola, kemudian jalur-jalur setapak taman banyak yang tidak digunakan karena para pengguna taman lebih suka berjalan menerjang rumput untuk memperpendek jarak tempuh.

Konsep asli elemen-elemen vegetasi di Indonesia bukan hanya sekedar sebagai elemen estetis saja seperti di Eropa, tetapi juga harus memiliki fungsi-fungsi bermanfaat yang selaras dengan budaya masyarakat lokal, yaitu vegetasi sebagai penghasil sesuatu yang bisa dimanfaatkan (contoh: tanaman penghasil buah, pohon penghasil kayu), kemudian befungsi dalam aspek religius dan simbolis (contoh: tanaman Beras Tumpah sebagai simbol rezeki, pohon Sawo Kecik sebagai simbol kewibawaan).

Contoh ruang publik dengan konsep yang benar-benar selaras dengan latar belakang budaya masyakarat Indonesia adalah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Alun-alun tersebut tidak menggunakan hamparan rumput sebagai penutup tanah, tetapi menggunakan hamparan pasir pantai sebagai penutup tanahnya. Vegetasi yang ada di alun-alun tersebut juga bukan jenis vegetasi yang menarik secara visual, melainkan vegetasi yang lebih mengacu pada fungsi religius dan simbolis, yaitu Pohon Beringin Kurung. Dalam falsafah hidup masyakarat Jawa, Pohon Beringin dilambangkan sebagai pengayoman raja kepada rakyat. Ditambah lagi, alun-alun juga bersifat multi use, bukan single use. Selain digunakan sebagai tempat berkumpulnya rakyat untuk mendengarkan wejangan dari raja, alun-alun pada saat itu juga berfungsi sebagai tempat untuk mengadili dan mengeksekusi rakyat yang melakukan kejahatan, juga sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang melibatkan interaksi sosial masyakarat, seperti rampogan (pertunjukan pertarungan manusia melawan hewan buas, seperti harimau), pepe (tempat menunggu rakyat untuk bertemu dengan raja), kemudian pasar malam, sekatenan, Grebeg Syawal, dll (tiga terakhir masih ada sampai saat ini). Sehingga alun-alun tidak menggunakan rumput sebagai penutup tanahnya (yang rentan rusak karena digunakan untuk berbagai macam aktivitas sosial masyarakat), tetapi menggunakan pasir. Sampai saat ini pun, ruang-ruang publik yang ada di Indonesia masih bersifat multi use dengan berbagai macam aktivitasnya yang berbeda dengan aktivitas masyakarat masa lalu, tetapi intinya tetap sama, yaitu ruang publik di Indonesia bersifat multi use bukan single use.

Ruang-ruang publik di Indonesia bersifat multi use bukan single use.

Ditambah lagi, kenyataan yang ada saat ini, banyak ruang publik misalnya taman kota yang seharusnya bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali malah diberi pagar sehingga secara psikologis membuat orang segan untuk memanfaatkannya. Akibatnya banyak taman kota yang ada saat ini tidak lebih hanya sekedar wujud visual yang penuh kehijauan dan aneka vegetasi yang indah dipandang tetapi belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Bahkan yang lebih sering, banyak taman kota sekarang bekonotasi negatif (karena sering digunakan sebagai tempat pacaran, dan sejenisnya) sehingga masyarakat sekitar menjadi enggan menggunakannya sebagai ruang publik.

Masyakarat Indonesia sebenarnya telah memiliki definisi yang jelas dan ideal mengenai ruang publik (berupa taman umum) sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo terjemahan George Cœdès yang dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Talang_Tuwo, yaitu “Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, Pohon Kelapa, Pinang, Aren, Sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula Bambu Haur, Waluh, Pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.

Sebagai implementasi, menanam tanaman-tanaman bernilai simbolis di ruang-ruang publik seperti taman kota dengan memberikan deskripsi mengenai tanaman-tanaman tersebut dapat dijadikan alternatif. Contoh: Pohon Sawo Kecik merupakan lambang kewibawaan (dalam budaya masyarakat Jawa diyakini, bahwa barangsiapa menanam pohon ini di halaman rumahnya maka sang pemilik rumah akan selalu dihormati dan disegani oleh masyarakat). Pohon Pinang Merah merupaka lambang rezeki dan tolak bala (dalam budaya masyarakat Jawa diyakini, bahwa barangsiapa menanam pohon ini di halaman rumahnya, maka sang pemilik rumah akan lancer rezekinya dan terhindar dari serangan ilmu hitam seperti santet, guna-guna, dsb). Bunga Matahari merupakan lambang kedamaian dan keharmonisan (dalam budaya masyarakat Jawa diyakini, bahwa barangsiapa menanam bunga ini di halaman rumahnya maka rumah tangga sang pemilik rumah akan harmonis dan damai). Tanaman Kuping Gajah dan Beras Tumpah merupakan lambang rezeki yang melimpah (dalam budaya masyarakat Jawa diyakini, bahwa barangsiapa menanam tanaman ini dan tumbuh subur maka akan dapat mengundang rezeki yang melimpah).

Selain itu, selama berabad-abad (sebelum era kolonial) masyarakat Indonesia memiliki latar belakang rites de passage yang kuat ditambah budaya vertikal yang kental, yang tidak pernah luntur walaupun selama tiga setengah abad berada di bawah pengaruh kolonialisme Belanda. Sehingga untuk tahap awalnya, sosialisasi melalui pendekatan ini akan lebih sesuai dibandingkan dengan sosialiasi melalui sudut pandang ekologi, yang bahkan sebagian masyakarat sendiri belum tentu sadar dan mengerti apa itu ekolgi dan seberapa besar manfaat keberlanjutan ekologi bagi kehidupan manusia. Pada saatnya nanti, ketika masyarakat sudah terbudaya secara aktif menghijaukan lingkungannya berdasarkan konsep/filosofi simbolisme tanaman dan merasakan manfaatnya secara ekologi, maka dengan sendirinya mereka akan sadar tentang seberapa pentingnya peran ekologi untuk kelangsungan kehidupan manusia.

Sosialisasi melalui pendekatan kearifan lokal lebih sesuai karena masyarakat Indonesia memiliki latar belakang rites de passage yang kuat selama beabad-abad.  — Mirna Aulia

Ruang-ruang publik kota di Indonesia yang didesain menggunakan konsep asli warisan nenek moyang bangsa Indonesia, berdasarkan aspek multi use dan falsafah hidup serta kearifan lokal yang berupa konsep makna-makna simbolis tanaman kiranya akan lebih sesuai mengingat juga adanya latar belakang rites de passage yang kuat selama berabad-abad. Jadikanlah ruang-ruang publik sebagai guru yang efektif untuk mengajari masyarakat membangun ruang-ruang mikro di sekelilingnya agar bernilai ekologi demi kelangsungan kualitas lingkungan hidup yang sehat.


Referensi:

Antariksa, Prof.Ir. M.Eng., Ph.D. 2015. Pelestarian Arsitektur & Kota yang Terpadu. Penerbit Cahaya Atma Pustaka.Yogyakarta.

Artikel Kajian Pola Ruang Terbuka di Kota Bandung: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman oleh Doni Fireza dari www.ruanghijau.wordpress.com

Frick, Heinz; FX. Bambang Suskiyanto. 1998. Dasar-dasar Eko-Arsitektur. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Kunto, Hartoyo. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. PT. Granesia. Bandung.

Zahnd, Markus. 2006. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.


Artikel ini juga dapat dibaca di sini.

Views: 210

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.