Alkisah, di sebuah kampung padang pasir tandus bernama Kampung Sahara yang ramai didatangi oleh khafilah para pedagang, tersebutlah dua orang sahabat kental, Ikhlas dan Bahlul. Walaupun masih berusia dua puluh tahunan, keduanya sudah menjadi peternak sukses yang disegani di kampung itu. Si Ikhlas memiliki seribu ekor Unta yang gemuk-gemuk. Sedangkan Si Bahlul memiliki seribu ekor Keledai yang gemuk-gemuk pula.

Pada suatu siang yang terik, terlihat keduanya berbincang-bincang sambil mengisap shisha.“Eh, Lul! Aku mau melamar seorang gadis.”, kata Si Ikhlas.

Kedua bola mata si Bahlul langsung melotot. Sambil memegang shisha yang urung dihisapnya, Si Bahlul berkata, “Yang bener kau!? Waduh, kalau begitu aku juga musti cepat-cepat cari calon istri. ‘Kan kita udah sepakat kalau kita nanti menikahnya bareng, biar anak-anak kita nanti bisa seumuran.”

Singkat cerita, setelah berhasil melamar gadis pujaannya masing-masing, akhirnya Si Ikhlas dan Si Bahlul menikah pada hari yang sama. Setelah menikah, keduanya memutuskan untuk meninggalkan kampung kelahiran mereka untuk mengembangkan usahanya. Si Ikhlas pindah ke Kampung Seribu Menara, sedangkan si Bahlul pindah ke Kampung Seribu Badai. Waktu pun bergulir dengan cepat. Tak terasa.

1 Syawal (Hari Raya Idul Fitri) 30 tahun kemudian…

Kampung Sahara sudah begitu padat, tidak seperti 30 tahun yang lalu. Jalanan pasir yang dulu berdebu sekarang sudah berubah menjadi jalanan berbatu yang tertata rapi. Di ujung jalan itu, tampak seorang lelaki paruh baya yang sedang menunggangi seekor Unta gemuk. Sementara di perempatan jalan tampak pula seorang lelaki paruh baya yang sedang menunggangi seekor Keledai gemuk. Keduanya pun bertemu di tengah perempatan jalan.

“Assalamu’alaikum, Bahlul!”, sapa si lelaki yang duduk di atas punggung Unta gemuknya.

“Wa’alaikum salam, Ikhlas.”, jawab si lelaki yang duduk di atas punggung Keledai gemuknya.

“Lama sekali aku tidak melihatmu, Bahlul.”, ujar Ikhlas seraya turun dari atas punggung Unta gemuknya. Bahlul pun ikut-ikutan turun dari punggung Keledai gemuknya. Keduanya lantas berjalan menuju sebuah kedai yang cukup ramai.

“Aku dengar, kau baru nikah lagi ya?”, tanya si Ikhlas setelah keduanya duduk di dalam kedai.

“Iya, aku coba meneladani baginda Rasulullah SAW, ikut berpoligami. Yang kemarin aku nikahi itu jadi istri keempatku. Umurnya sepantaran dengan anak bungsuku, 18 tahun.”, jawab si Bahlul. “Kau sendiri  kudengar juga menikah lagi untuk yang keempat ‘kan? Sama lah kita.”, Bahlul melanjutkan dengan nada riang gembira.

Oh, begitu ya menurutmu, Lul?”, si Ikhlas merespon kata-kata si Bahlul dengan nada datar.

“Ya iyalah, Ikhlas. Kita sama.’Kan sama-sama berpoligami”, jawab si Bahlul lagi.

“Memangnya istri kedua dan ketiga kau usianya berapa, Bahlul?”, tanya si Ikhlas sembari memakan roti Sambosa pesanannya.

Si Bahlul langsung antusias. Kedua pupil matanya tampak membesar. “Nih, ya, aku ceritakan. Istri pertamaku, kau tau sendiri lah, sudah tua. ‘Kan dia sepantaran sama kita, sudah 55 tahun. Kalau istri keduaku, umurnya masih 30 tahun. Dia itu anaknya saudagar Kurma di kampungku, Kampung Seribu Badai. Nah, kalau istri ketigaku umurnya 20 tahun, cantik sekali. Kalau digambarkan mungkin seperti Ratu Cleopatra. Dan istriku yang keempat ini yang paling spektakuler, kau sudah ku beritahu tadi, umurnya baru 18 tahun. Lebih cantik lagi dari istriku yang ketiga.”

Si Ikhlas hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan si Bahlul. “Kalau kau sendiri? Ceritakan tentang istri-istrimu!”, si Bahlul kemudian menanyakan perihal istri-istri si Ikhlas.

“Kalau istri pertamaku, kau sudah tahu sendiri. Dialah yang paling cantik. Usianya sekarang sudah 45 tahun dan masih tetap sama cantiknya di mataku. Waktu aku nikahi dulu, usianya baru 15 tahun. Kalau istri keduaku usianya sudah 60 tahun, lebih tua dariku. Dia janda dari mendiang sahabatku di Kampung Seribu Menara. Waktu aku nikahi, anaknya tiga dan masih kecil-kecil. Sedangkan istri ketigaku usianya lebih tua lagi, sudah 65 tahun. Dia juga janda mendiang temanku. Nah, kalau istri keempatku ini yang paling disayang oleh semua istriku, mulai istri pertama sampai ketigaku, juga anak-anakku.”, si Ikhlas menjelaskan panjang lebar dengan sangat antusias.

“Loh, kok bisa begitu?? Mana ada istri keempat paling disayang. Kalau istri keempatku justru adalah yang paling dibenci oleh istri-istriku yang lain. Aku saja sampai pusing kalau diantara istri-istriku itu saling ribut karena cemburu. Istri pertamaku saja sempat mau bunuh diri gara-gara dia menyangka kalau aku lebih cinta sama istriku yang keempat.”, tanya si Bahlul antusias sambil berharap mendapatkan tips yang berguna untuk merukunkan keempat istrinya yang setiap hari saling ribut.

Si Ikhlas tersenyum tipis, kemudian melanjutkan penjelasannya. “Iya, memang benar kok. Istri-istriku yang lain paling sayang sama istri keempatku. Mereka semua itu menganggap istri keempatku itu sudah seperti ibu mereka sendiri. Istriku yang keempat itu usianya sudah jauh di atasku. Usianya sudah 75 tahun, selisih 20 tahun sama diriku. Dia janda mendiang temanku juga.”

Si Bahlul tampak geleng-geleng kepala berulang kali. Ia tak habis pikir. “Aduh, Ikhlas…Ikhlas! Kau ini bagaimana sih!? Bukannya nikah lagi itu cari istri yang lebih muda dan lebih cantik. Lha kau ini ‘kok aneh! Nikah lagi malah dapat yang makin tua. Yang terakhir malah sudah nenek-nenek. Bukan kemajuan itu namanya, melainkan kemunduran. Ya ampun! Kau tak menikmati surga dunia dong!”, cetus si Bahlul merasa berada di atas angin.

“Memang tidak. Aku memang tak berharap surga dunia dengan poligami yang aku jalani saat ini. Aku hanya berharap surga akhirat, Lul. Aku hanya meneladani cara berpoligami Rasulullah SAW.”, jawab si Ikhlas dengan tenang.

Si Bahlul bertanya dengan mimik tidak puas melihat kebahagiaan yang terpancar di mata si Ikhlas. “Meneladani Rasulullah SAW bagaimana, Ikhlas!?”

“Ya meneladani. Kau tau ‘kan, setelah Siti Khadijah wafat, Rasulullah SAW menikah dengan siapa? Siti ‘Aisyah ‘kan? Nah, artinya Siti ‘Aisyah lah yang menjadi istri pertama Rasulullah SAW setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah itu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Hafsah binti Umar bin Khattab r.a., janda almarhum sahabatnya yang gugur dalam Perang Uhud, yang usianya lebih tua 6 tahun daripada ‘Aisyah. Setelah itu, Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zainab binti Khuzaimah r.a yang juga janda almarhum sahabatnya yang juga gugur dalam Perang Uhud, yang usianya 17 tahun lebih tua daripada ‘Aisyah r.a. Setelah itu Rasulullah SAW menikah lagi dengan Zaynab binti Jahsy, janda almarhum sahabatnya Zaid bin Haritsah yang juga gugur di medan perang. Usianya bahkan lebih tua 22 tahun daripada ‘Aisyah.”, si Ikhlas menghentikan penjelasannya sejenak untuk menyeruput secangkir teh.

“Nah, artinya aku meneladani cara poligami Rasulullah SAW. Semua istri yang dinikahi oleh Rasulullah SAW ‘kan selalu lebih tua daripada Siti ‘Aisyah r.a., bahkan istrinya yang bernama Zaynab binti Jahsy itu usianya 22 tahun labih tua daripada Siti ‘Aisyah. Ditambah lagi, hanya Siti ‘Aisyah r.a sajalah yang dinikahi oleh Rasulullah SAW dalam keadaan masih gadis dan juga yang paling muda. Kau tau kan, istri-istri Rasulullah SAW yang kedua dan seterusnya ketika dinikahi adalah dalam status janda dan juga jauh lebih tua. ‘Kan sama dengan diriku, satu-satunya istriku yang berstatus gadis waktu aku nikahi hanya istri pertamaku. Istri kedua sampai keempatku semuanya adalah janda mendiang sahabatku dan semuanya juga jauh lebih tua daripada istri pertamaku dan bahkan juga dari diriku sendiri.”, si Ikhlas mengakhiri penjelasannya.

Si Bahlul tampak manggut-manggut dengan mimik aneh. “Memang begitu ya poligaminya Rasulullah SAW?”, tanyanya.

“Iya. ‘Kan sudah diterangkan dalam banyak hadits shahih. Bagaimana sih kau ini, Bahlul. Katanya kau berpoligami karena meneladani Rasulullah SAW? Kenapa kau tidak tahu kalau poligami yang dijalani oleh Rasulullah SAW itu yang seperti itu, bukan yang seperti kau jalani itu!?”, jawab si Ikhlas.

Si Bahlul tampak bangkit dari duduknya dengan kesal. “Ah! Kalau model poligami macam begitu, mana ada yang mau. Yang ada stress nanti jadinya. Orang maunya senang, malah susah. Menikah lagi kok sama nenek-nenek. Aduuhhh!!! Lebih baik aku tidak poligami! Tak mau aku kalau model poligami macam begitu!”, ujar si Bahlul dengan kesal.

“Lha katanya kau berpoligami untuk meneladani Rasulullah SAW. Kalau model poligami Rasulullah SAW ‘kan memang seperti itu. Bukan cari gadis lagi yang lebih muda dan lebih cantik buat dinikahi.”, si Ikhlas berkata lagi dengan tenang.

Si Bahlul tambah mencak-mencak. “Tidak! Dalam kamusku, tak ada itu model poligami kayak gitu.”, teriak si Bahlul.

“Lha, kalau kau tidak mau dengan model poligami seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW itu, lantas kau ini mencontoh siapa, Lul? Seperti kau itu ya, siapa yang kau teladani dalam berpoligami? Rasulullah SAW mencontohkannya tidak seperti poligami yang kau jalani itu. Aku tanya sekali lagi, kau ini mencontoh siapa, Bahlul?”, tukas si Ikhlas dengan nada tegas.

Si Bahlul tidak merespon sama sekali. Ia hanya diam saja dengan mimiknya yang tampak aneh.

Disclaimer: Kisah ini hanyalah fiktif semata. Apabila ada nama, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan semata. Satu-satunya yang tidak fiktif dalam fiksi di atas adalah data-data tentang istri-istri Rasulullah SAW. Semua data dan keterangan yang menyangkut Rasulullah SAW dan istri-istri beliau adalah benar (karena penulis tidak berani mengubah keterangan apapun yang menyangkut diri Rasulullah SAW dan keluarganya).


Fiksi ini juga dapat dibaca di sini dan di sini.

Visits: 813

Leave a Reply