Memahami Al-Quran Cukup Membaca Terjemahan?

Memahami Al-Quran, cukup membaca terjemahannya saja, lantas kita merasa sudah memahaminya? Begitukah? TIDAK, sama sekali tidak. Pada kenyataannya, walaupun bagi penutur asli Bahasa Arab sendiri, untuk bisa memahami isi Al-Quran dengan baik dan benar, tidak cukup hanya dengan tahu arti/maknanya saja. Sebab, walaupun bahasa yang digunakan dalam Al-Quran memang Bahasa Arab, namun bahasa di dalam Al-Quran sangat kaya dan seringkali menggunakan kalimat-kalimat efektif yang mengandung makna sangat luas sehingga membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Apalagi bagi orang yang tidak memahami Bahasa Arab, untuk bisa memahami Al-Quran dengan baik dan benar, tentu saja tidak cukup hanya dengan modal membaca terjemahan saja, lantas kita merasa sudah paham benar dengan kandungan isi Al-Quran.

Agar bisa memahami isi Al-Quran dengan baik dan benar, apalagi kalau ayat-ayat tersebut akan digunakan menjadi rujukan atas suatu persoalan, maka penguasaan beberapa cabang ilmu lain, mulai dari ilmu nahwu (tata bahasa), shorof, nasikh dan mansukh, jenis-jenis ayat, ilmu fikih, ilmu hadis, asbabun nuzul ayat, kitab-kitab tafsir, dan beberapa lagi sangat diperlukan, sehingga kita tidak keliru dalam merujuk suatu ayat. Oleh karena itu, kita tidak bisa sembarangan saja dalam memahami ayat-ayat Al-Quran dengan hanya berbekal membaca terjemahan saja. Apalagi kalau sampai berani menafsirkan ayat Al-Quran sehendak hatinya hanya berbekal kemampuan berbahasa Arab saja tanpa ilmu yang memadai, maka itu jelas tidak dibenarkan.

Dalam artikel kali ini, penulis akan membahas beberapa kitab dan cabang ilmu yang seharusnya dikuasai untuk bisa memahami Al-Quran dengan baik dan benar, sehingga tidak keliru dalam memahami suatu ayat, juga tidak keliru dalam merujukkan suatu ayat untuk suatu persoalan. Sekali lagi, topik artikel ini bertujuan SEKADAR MEMAHAMI AYAT, BUKAN UNTUK MENAFSIRKAN AYAT.

Kalau untuk menafsirkan, maka wajib untuk menguasai jauh lebih banyak cabang ilmu lagi, misalnya ilmu balaghah (qawaidul uslub), yaitu suatu cabang ilmu Bahasa Arab yang mempelajari kaidah-kaidah mengenai gaya bahasa (uslub). Ilmu balaghah sendiri meliputi tiga bidang ilmu yang mutlak harus dikuasai bagi siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran, yaitu al-Bayan, alMa’ani, dan alBadi’.

Bayan (ilmu yang membahas cara menyusun redaksi yang beragam mengenai suatu pengertian). Misalnya pada Al-Quran surat Ibrahim ayat 1.

… كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ

…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang. Kalimat tersebut menggunakan majas isti’arah (majas yang alaqah/hubungan antara makna asal dan makna yang dimaksud serupa). Dalam kalimat tersebut yang dimaksud gelap adalah kesesatan, sedangkan yang dimaksud dengan cahaya adalah petunjuk (kebenaran) yang terang. Dengan demikian jelas sekali bahwa kedua kata tersebut merupakan majas karena maknanya tidak dimaksudkan sesuai arti katanya. Hubungan antara kedua arti kata aslinya dengan makna yang dimaksudkan itu serupa, yaitu dengan memaksudkan kata gelap yang berarti kesesatan, sedangkan cahaya yang berarti petunjuk/kebenaran yang terang. Berikutnya adalah ma’ani (ilmu yang membahas cara menyusun kalimat agar sesuai dengan tuntutan keadaan), dan badi’ (ilmu yang membahas aspek keindahan kata baik secara lafdzi maupun maknawi). Selain itu, juga harus menguasai isytiqaq (akar kata), lughot (filologi), dan masih banyak lagi cabang ilmu yang harus dikuasai oleh para penafsir yang mana penulis TIDAK memiliki kapasitas keilmuan untuk membahasnya lebih lanjut.

Intinya baik itu kemampuan memahami Al-Quran dengan baik, apalagi sampai menafsirkannya, bukanlah sesuatu yang instan, yang bisa dipelajari hanya dalam sebulan dua bulan saja, apalagi hanya dengan bekal membaca Al-Quran versi terjemahan saja, lantas sudah merasa mampu memahami dengan benar ayat Al-Quran, bahkan sudah berani menafsirkan ayat-ayatnya dengan tafsir versinya sendiri.

Kalau menyangkut pekerjaan menafsirkan ayat Al-Quran, maka itu jelas jauh lebih sulit lagi dan tidak semudah atau sesembarangan yang dibayangkan sebagian orang. Seorang penafsir perlu menguasai banyak cabang ilmu lagi selain juga hapal Al-Quran. Padahal, menghapalkan Al-Quran itu sendiri tidak instan (artinya seminggu, sebulan dua bulan mampu hapal 30 juz), bisa memerlukan waktu beberapa tahun. Demikian pula, untuk mempelajari cabang-cabang ilmu lain sebagai pendukung ilmu tafsir, juga bisa memerlukan waktu bertahun-tahun mondok di pesantren, kemudian dilanjutkan mempelajari ilmu tafsir dan segala hal yang berhubungan dengan itu hingga ke Jazirah Arab, seperti Mesir, Arab Saudi, Maroko, Yaman, dan sebagainya selama bertahun-tahun lagi. Sebagai contoh, silakan tengok biografi lengkap seorang ahli tafsir Al-Quran yang hidup di zaman ini, yaitu Profesor M. Quraish Shihab dan bagaimana perjalanan panjang beliau sehingga pada akhirnya memiliki kapasitas keilmuan menjadi seorang mufassir. Sekali lagi, semua itu bukan sesuatu yang instan dan TIDAK BISA didapat hanya berbekal mengaji lewat Google saja.

Sebagai pengingat, Al-Quran itu tidak diturunkan secara instan (seketika). Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan selama 22 (dua puluh dua) tahun, dua bulan, dan 22 (dua puluh dua) hari agar lebih mudah dimengerti/dipahami dan dilaksanakan, untuk memudahkan dalam menghapal ayat per ayat, dan sebagainya. Jadi, segala hal yang berhubungan dengan kitab suci Al-Quran itu BUKAN sesuatu yang instan atau semudah membalikkan telapak tangan.

Kalau kita memang tidak memiliki kapabilitas keilmuan untuk menafsirkan/mengartikan ayat Al-Quran (meskipun sudah merasa mahir berbahasa Arab), sebaiknya kita merujuk saja kepada kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama yang kredibel, yang saat ini sudah banyak tersedia di pasaran. Intinya, jangan menjadi golongan orang sesat yang menyesatkan orang lain. Sekarang kembali lagi kepada topik bahasan artikel ini. Jadi, apa sajakah bekal untuk bisa memahami makna ayat-ayat Al-Quran dengan baik dan benar?

Memahami Al-Quran perlu kitab-kitab tafsir

Seorang penutur asli Bahasa Arab saja masih memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir agar dapat memahami dengan baik makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, apalagi untuk orang yang tidak menguasai Bahasa Arab, sudah jelas kitab-kitab tafsir menjadi rujukan wajib agar bisa memahami makna ayat-ayat Al-Quran dengan baik. Lantas, kitab-kitab tafsir apa sajakah yang bisa kita gunakan untuk mengkaji makna ayat-ayat di dalam Al-Quran? Dari sekian banyak kitab tafsir Al-Quran, penulis akan memilih tiga kitab tafsir yang umum digunakan untuk mengkaji Al-Quran.

Pertama, kitab tafsir al-Jalalain

Tafsir al-Jalalain, yang dikarang oleh dua orang ahli tafsir, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, ini merupakan kitab tafsir yang paling banyak digunakan, juga menjadi kitab wajib untuk mengkaji Al-Quran terutama di kalangan pesantren. Kitab tafsir ini menggunakan al-manhaj al-ijmali (metode makna global ayat) sehingga bahasanya sangat lugas, ringkas, dan sederhana. Oleh karenanya, kitab tafsir ini sangat mudah dipahami. Kitab tafsir ini juga menonjolkan aspek i’rob (berubahnya kalimat baik dalam kira-kira maupun dalam lafaznya karena adanya amil) dan qira’at, tetapi secara ringkas. Kitab tafsir al-Jalalain ini sudah tersedia terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

Saking ringkasnya gaya tafsir al-Jalalain, maka beberapa ulama sesudahnya pun menulis kitab penjelas (hasyiyah) dari tafsir al-Jalalain. Ada 5 (lima) kitab penjelas tafsir al-Jalalain yang umum dikenal. Pertama, Majma’ul Bahrain Wa Mathla’ul Badrain yang ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Karkhi al-Bakri. Kitab ini terdiri dari 4 (empat) jilid dengan pendekatan tafsirnya menggunakan al-manhaj al-lughowi (metode kebahasaan). Selain itu dalam kitab ini, istilah-istilah asing juga dijelaskan secara lebih terperinci. Kedua, al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudhihil Jalalain lil Daqoiq al-Khafiyah karya Abu Dawud Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ajiily al-Azhary al-Jamal. Dalam kitab ini, disertakan pula pendapat dari para sahabat Rasulullah SAW, tabiin, dan mufassir yang disertai hadis. Sebagai seorang sufi, tidak lupa pula beliau turut menyertakan pendapat para tokoh sufi. Ketiga, ringkasan Hasyiyah al-Jamal atau Hasyiyah ash-Shawi al-Jalalain karya Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri al-Maliki al-Khalwati, seorang ahli dalam banyak cabang ilmu, mulai tafsir, hadis, dan fikih, sekaligus salah seorang tokoh sufi Mesir terkemuka pada saat itu. Kitab ini, selain berisi penjelasan terhadap tafsir al-Jalalain juga berisi sedikit kritikan terhadap bagian-bagian tertentu dari tafsir al-Jalalain. Walaupun sedikit mengkritik beberapa bagian tafsir al-Jalalain, kitab ini sendiri pun tidak luput dari kekurangan, yaitu dengan dimasukkannya beberapa kisah isra’iliyat yang tidak disertai penjelasan mengenai derajat kesahihannya. Keempat, Qurratul Ainain ‘ala Tafsirin al-Jalalain karya Muhammad Ahmad Kan’an al-Qadhi. Kitab ini ditulis selain untuk menjelaskan tafsir al-Jalalain dan memberi penjelasan mengenai riwayat hadis yang ada di dalamnya, juga untuk membersihkan tafsir al-Jalalain dari kisah-kisah isra’iliyat serta riwayat-riwayat yang tidak jelas asal usulnya. Kelima, Anwarul Huda wa Amthorun Nada karya Usman Jalaluddin al-Kalantani, seorang ulama termashyur yang berasal dari tanah Melayu.

Kedua, kitab tafsir Ibnu Katsir

Kitab tafsir ini ditulis oleh Ibnu Katsir, seorang ulama sekaligus ahli tafsir yang berasal dari Busra, negeri Syam (Suriah saat ini). Beliau berguru kepada banyak ulama, diantaranya Burhanuddin al-Fazari, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Mizzi (seorang ahli hadis dari Syam/Suriah), dan beberapa ulama dari tanah Hijaz. Selain ahli dalam ilmu tafsir, beliau juga dikenal sebagai ahli ilmu hadis (juga menulis banyak kitab ilmu hadis), ahli ilmu fikih (juga menulis kitab fikih), dan ahli ilmu sejarah (juga menulis beberapa buku sejarah).

Kitab tafsir ini menggunakan al-manhaj al-tahlili (metode analitis) yang cenderung maudu’i (cenderung tematik). Berbeda dengan tafsir al-Jalalain, tafsir Ibnu Katsir tidak membahas masalah i’rob beserta balaghah-nya. Kitab tafsir ini dianggap lebih detail dibandingkan dengan kitab tafsir al-Jalalain yang lebih ringkas sehingga terkadang masih dianggap memerlukan kitab-kitab penjelas. Sedangkan kekurangan kitab ini adalah masih disertakannya beberapa hadis yang sanadnya dhoif dan adanya beberapa kisah isra’iliyat walaupun selalu disertai peringatannya. Beberapa ulama seperti Imam Asy-Syaukani menilai tafsir Ibnu Katsir sebagai salah satu kitab tafsir terbaik.

Ketiga, kitab tafsir ath-Thabari

Kitab tafsir ath-Thabari ditulis oleh seorang ulama yang juga dianggap sebagai Bapak Tafsir Al-Quran, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari. Kitab ini dianggap sebagai kitab tafsir paling tua, sangat lengkap, dan menjadi rujukan banyak mufassir. Ulama besar As-Suyuthi pun menilai kitab ini sebagai kitab tafsir yang paling utama.

Kitab Asbabun Nuzul

Selain kitab-kitab tafsir, untuk bisa memahami makna ayat-ayat Al-Quran dengan baik, kita juga harus merujuk kepada Asbabun Nuzul (sebab-sebab atau latar belakang diturunkannya suatu ayat). Memahami asbabun nuzul ayat tidak hanya berguna bagi orang yang sekadar ingin memahami Al-Quran dengan baik, tetapi juga berguna untuk mempermudah para mufassir dalam menafsirkan ayat. Ada beberapa kitab Asbabun Nuzul yang biasanya menjadi referensi untuk digunakan memahami ayat-ayat Al-Quran. Di antaranya adalah kitab Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul karya Imam as-Suyuhti yang terjemahan dalam Bahasa Indonesianya sudah tersedia dengan sub judul Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Selain itu juga ada kitab Asbabun Nuzul karya al-Wahidi an-Nisaburi (tersedia dalam terjemahan Bahasa Indonesia dengan sub judul Penjelasan Lengkap Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat al-Quran), dan Asbabun Nuzul karya Syaikh Mahmud al-Mishri (tersedia dalam terjemahan Bahasa Indonesia dengan sub judul Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Quran). Namun, yang banyak dianggap menjadi referensi utama adalah kitab Asbabun Nuzul karya Imam as-Suyuthi.

Ilmu Hadis

Seseorang yang berniat memahami ayat-ayat Al-Quran dengan baik juga harus mempelajari ilmu hadis agar tidak keliru memahami konteks ayat yang sedang dikaji. Apalagi, kalau ayat-ayat tersebut hendak dirujuk kepada suatu persoalan.

Sebagai contoh, Bahlul sedang menengok temannya si Fulanah yang sedang berduka karena suaminya meninggal dunia. Si Fulanah menyambutnya dengan wajah masih diliputi kesedihan walaupun terlihat tabah. Ketika bercerita mengenai mendiang suaminya, sesekali air matanya menetes, tetapi si Fulanah ini sama sekali tidak meratap. Karena melihat si Fulanah yang masih menampakkan kesedihan mendalam disertai tetesan air mata, Bahlul langsung saja menasihati si Fulanah, “Fulanah, kamu tidak boleh seperti itu, itu dilarang. Kalau kamu tidak mengikhlaskan kepergian suamimu, dan masih menangis, itu sama saja kamu menzalimi diri sendiri, nanti Allah bisa murka kepadamu. Itu ada di Al-Quran surat Az-Zukhruf ayat 75 dan 76, nih, aku sebutkan ayatnya ya, “Tidak diringankan (azab) itu dari mereka, dan mereka berputus asa di dalamnya. Dan tidaklah Kami menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.”

Nah, inilah akibat orang yang memahami Al-Quran secara gegabah tanpa dasar ilmu. Dengan berbekal membaca terjemahan saja, Bahlul sudah berani mendalilkan ayat untuk suatu persoalan yang tidak ia pahami konteksnya. Di sini ada dua kesalahan fatal yang diperbuat oleh Bahlul. Pertama, ia tidak paham konteks ayat tersebut karena menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut menerangkan keadaan orang-orang yang celaka di dalam neraka yang sudah berputus asa dari rahmat-Nya, akibat amal-amal buruk yang mereka kerjakan, padahal telah datang kepada mereka rasul-rasul yang memberi peringatan. Akan tetapi, mereka mengingkarinya dan bersikap durhaka. Oleh karena itulah mereka diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan buruknya, yaitu siksa neraka. Dan Allah SWT tidak menganiaya hamba-hamba-Nya. Kedua, ia salah pemahaman karena mengira bahwa raut wajah sedih dengan sesekali meneteskan air mata sebagai bentuk perbuatan meratap yang dilarang dalam Islam, sehingga mendalilkan bahwa kedukaan temannya sebagai sesuatu yang dilarang dan akan mendatangkan murka Allah. Ia tidak mengetahui konteks perkara mana berduka yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Inilah akibat dari berdalil tanpa ilmu, dengan hanya membaca terjemahan saja tanpa mau mempelajari ilmu-ilmu syariat dan as-sunah.

Sesuai hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, “Bukan dari golongan kami siapa yang menampar pipi, mengoyak-ngoyak baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyah (meratap).” Berdasarkan hadis tersebut, berduka yang dilarang adalah yang sampai menampar-nampar pipi, mengoyak-ngoyak baju, dan berteriak-teriak meratap. Sedangkan kalau hanya meneteskan air mata, itu tidak dilarang karena itu manusiawi. Rasulullah SAW sendiri pernah meneteskan air mata pada saat putranya, Ibrahim, meninggal dunia. Ketika hal itu ditanyakan oleh salah seorang sahabat beliau SAW, Abdurrahman bin ‘Auf ra, Beliau SAW bersabda, “Wahai Ibn ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (air mata karena kasih sayang).”

Ilmu Fikih

Untuk bisa memahami ayat-ayat Al-Quran dengan baik, seseorang juga perlu mempelajari fikih (ilmu hukum Islam). Dengan hanya mempelajari Al-Quran tanpa mempelajari ilmu fikih, maka seseorang itu tidak akan mampu memahami ayat-ayat Al-Quran dengan baik sehingga sangat rentan keliru dalam mengaplikasikan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Quran. Misalnya, ketika membaca ayat-ayat tentang ibadah salat, tanpa mengetahui bagaimana tata cara salat sesuai contoh Rasulullah SAW, maka salatnya tidak sah. Salat sesuai salatnya Rasulullah SAW dengan didahului berwudhu (sesuai ajaran Beliau SAW juga), kemudian mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan, baik wudhu maupun salat. Semua perincian itu tidak akan didapati di dalam ayat-ayat Al-Quran karena perincian itu adanya di dalam kitab fikih. Oleh karena itu, tanpa menguasai ilmu fikih, maka pemahaman seseorang akan Al-Quran tidak akan bisa sempurna.

Ada empat mazhab utama dalam fikih golongan ahlussunnah wal jamaah, yaitu mazhab Syafi’i (kebanyakan dianut oleh muslim Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, Kamboja, Vietnam, Thailand, Iran, Mesir, dan Somalia timur); mazhab Hanafi (banyak dianut oleh muslim di wilayah Asia selatan, Mesir utara, Lebanon, Irak, dan Suriah); mazhab Maliki (banyak dianut oleh muslim di jazirah Afrika barat dan utara); dan mazhab Hambali (banyak dianut oleh muslim di wilayah semenanjung Arab, terutama Arab Saudi).

Lebih lanjut lagi, dalam mempelajari ilmu fikih, kita sebaiknya tidak hanya mempelajari satu mazhab saja, tetapi juga mempelajari mazhab-mazhab lain. Mengapa demikian? Agar kita tidak terjebak untuk bersikap fanatik berlebihan dengan hanya membenarkan satu mazhab saja dan menyalahkan mazhab-mazhab lain; juga agar kita terbiasa menerima perbedaan-perbedaan yang ada pada tiap-tiap mazhab; selain itu juga karena dalam suatu kondisi tertentu, kita mungkin saja perlu untuk berpindah mazhab. Contohnya adalah pada saat melaksanakan ibadah haji dan umrah. Misalnya, kita memilih menganut mazhab Syafi’i yang pendapat sahih mayoritasnya adalah bersentuhan dengan yang bukan mahram akan membatalkan wudhu. Apabila pada saat itu kita sedang melaksanakan ibadah haji yang seringkali berada dalam kondisi berdesak-desakan dengan jamaah lain dan bercampur baur antara jamaah pria dan wanita, kalau kita tetap ngotot fanatik dengan mazhab Syafi’i, maka sudah pasti wudhu kita akan batal sehingga harus berwudhu lagi. Tentu saja itu akan sangat menyulitkan pelaksanaan ibadah haji kita. Maka, pada saat itulah, sebagai bentuk kehati-hatian, kita perlu untuk berpindah mazhab dengan mengikuti mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa persentuhan kulit antara pria dan wanita (baik ajnabi maupun mahram) tidak membatalkan wudhu.

Ketika berpindah mazhab ini, kita pun harus mengikuti tata cara keseluruhannya, tidak boleh sepotong-sepotong. Misalnya, berwudhu menggunakan mazhab Syafi’i, tetapi hal-hal yang membatalkan wudhu mengikuti mazhab Hanafi, sehingga ketika bersentuhan dengan non mahram ia menganggapnya tidak batal. Nah, hal ini bisa menyebabkan salatnya tidak sah. Ketika berwudhu menganut mazhab Syafi’i, maka mengusap sebagian kepala atau hanya beberapa lembar rambut saja itu sudah cukup. Berbeda halnya ketika kita berpindah mazhab mengikuti mazhab Hanafi, maka kita pun harus mengikuti tata cara wudhu mazhab Hanafi, yaitu membasuh seperempat kepala agar wudhu dan salat kita sah. Intinya, ketika berwudhu menggunakan mazhab Syafi’i, maka hal-hal yang membatalkan wudhu juga mengikuti mazhab Syafi’i. Ketika mengikuti mazhab Hanafi untuk perkara pembatal wudhu, maka cara berwudhunya juga mengikuti mazhab Hanafi. Inilah perlunya mempelajari tidak hanya satu mazhab saja, tetapi keempatnya. Sementara itu, mempelajari ilmu fikih, apalagi empat mazhab, itu bukan hal yang instan, melainkan paling baik harus dimulai sejak usia masih kecil (kanak-kanak), agar bisa memahami setahap demi setahap secara perlahan-lahan.

Mempelajari ilmu Nahwu dan Shorof

Selain mengkaji kitab tafsir, kitab asbabun nuzul, dan kitab-kitab hadis, serta mempelajari ilmu fikih, setiap orang yang ingin bisa memahami makna ayat Al-Quran dengan baik dan benar juga seharusnya menguasai ilmu nahwu dan shorof. Nahwu (tata bahasa) dan shorof (perubahan bentuk kata). Ilmu nahwu berisi pelajaran mengenai kaidah tata bahasa Arab, mulai dari jenis kata (isim, fi’il, dan harf), i’rob, i’rob jazem, tanda-tanda i’rob, nasob dan tanda-tandanya, tanda khofadl, kalimat-kalimat yang dii’robi, isim ma’rifat, nakiroh, dhomir, isim yang dinasobkan, mengganti fa’il, badal, dan sebagainya yang semua itu merupakan bekal utama bagi siapa saja yang hendak mengkaji ayat-ayat Al-Quran sehingga bisa memahami dengan baik. Nah, untuk mempelajari nahwu dan shorof juga tidak bisa instan, sebulan dua bulan bisa. Perlu waktu yang tidak sebentar dan kesabaran yang tinggi untuk menguasai keduanya.

Mempelajari ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah

Untuk mempermudah dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, kita juga perlu menghapal yang mana ayat-ayat Makiyah dan yang mana ayat-ayat Madaniyah, kemudian mengetahui perbedaan karakteristik antara ayat-ayat Makiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Mekah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah diturunkan di Madinah, setelah Beliau SAW berhijrah ke Madinah. Secara garis besar dapat dilihat karakteristiknya bahwa ayat-ayat Makiyah biasanya berupa ayat-ayat pendek, sedangkan ayat-ayat Madaniyah umumnya berupa ayat-ayat panjang. Selain itu, ada perbedaan menyolok juga, yaitu ayat-ayat yang diawali dengan kalimat “Wahai manusia” terdapat pada ayat-ayat Makiyah, sedangkan ayat-ayat yang diawali dengan kalimat “Wahai orang-orang yang beriman” terdapat pada ayat-ayat Madaniyah. Hal pembeda sangat penting antara ayat-ayat Makiyah dan ayat-ayat Madaniyah adalah pokok-pokok permasalahan yang diterangkan dalam ayat-ayatnya. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keimanan, pahala, ancaman, siksa, budi pekerti (akhlak), dan kisah-kisah umat-umat terdahulu yang bisa menjadi pelajaran terdapat dalam ayat-ayat Makiyah. Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum, mulai hukum perkara duniawi, muamalah, tata negara, hukum peperangan, hukum mengenai masalah internasional, dan hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama terdapat dalam ayat-ayat Madaniyah.

Mempelajari nasikh dan mansukh

Nasikh adalah ayat yang diturunkan untuk menghapus hukum yang terkandung dalam ayat sebelumnya, sedangkan mansukh adalah ayat yang hukumnya terhapus dengan ayat yang datang sesudahnya. Salah satu contohnya, yaitu surat Al-Muzzammil ayat 2 – 3, “bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu,” Ini adaah ayat yang mansukh (dibatalkan). Salat malam mula-mula wajib, tetapi setelah turun ayat 20 hukumnya menjadi sunah. Nah, ayat 20 Q.S Al-Muzzammil disebut ayat nasikh (ayat yang membatalkan). Silakan dibaca sendiri isi ayat 20 tersebut karena ayat tersebut akan terlalu panjang untuk ditulis dalam artikel singkat ini.

Mempelajari jenis-jenis dan karakteristik ayat-ayat

Pengetahuan mengenai jenis-jenis ayat beserta karakteristiknya juga sangat penting untuk bisa memahami ayat-ayat Al-Quran secara lebih baik lagi. Pada dua poin di atas sudah dibahas empat jenis ayat, yaitu ayat Makiyah, Madaniyah, nasikh, dan mansukh. Namun, perlu diketahui, selain empat jenis ayat di atas, masih banyak lagi jenis-jenis ayat yang ada di dalam kitab suci Al-Quran. Di antaranya adalah ayat-ayat Mutasyabihat (ayat-ayat yang samar atau belum jelas maknanya, sehingga masih memerlukan penafsiran lebih lanjut), Muhkamat (ayat-ayat yang sudah jelas maknanya sehingga tidak menimbulkan multitafsir), Muthlaq (ayat-ayat yang tanpa syarat), Muqoyyad (ayat-ayat yang bersyarat), dan sebagainya.

Untuk mempelajari secara lebih lanjut mengenai jenis-jenis dan karakteristik ayat-ayat Al-Quran guna semakin menambah kualitas pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, penulis merekomendasikan untuk mempelajari kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur’an karya Imam Jalaluddin As Suyuthi. Kitab ini sudah tersedia terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan judul Samudera Ulumul Qur’an (terdiri dari empat jilid).

Memahami Tema Surat

Untuk membantu memahami ayat-ayat Al-Quran, kita juga perlu memahami tema surat. Dengan memahami tema surat, paling tidak kita akan tahu sebagian perkara yang akan dibicarakan pada ayat-ayat di dalam surat tersebut. Ini juga cukup membantu untuk mempermudah dalam merujuk ayat atas suatu perkara. Misalnya, surat Al-Kahf yang artinya gua. Surat ini dinamai Al-Kahf karena pada ayat ke 9 – 26 menceritakan kisah Ashabul Kahfi. Kemudian surat Ar-Rum yang artinya bangsa Romawi. Dinamakan demikian karena pada pemulaan ayatnya menyebutkan tentang akan datangnya kebangkitan (kemenangan) bangsa Romawi setelah mengalami kekalahan. Berikutnya adalah surat Al-Ahzab (الْأحزاب) yang artinya golongan-golongan (yang bersekutu). Bedakan dengan istilah azab (عذاب) yang artinya adalah siksaan yang diturunkan Allah kepada manusia akibat kezaliman yang telah atau sedang dilakukan. Dinamakan Al-Ahzab karena pada ayat ke 9 – 27 menceritakan kisah perang Ahzab atau perang Khandaq. Perang ini bermula ketika seluruh kabilah Arab yang terdiri dari berbagai kelompok, terutama kaum Yahudi dan orang-orang kafir berniat menyerang kaum muslimin di Kota Madinah. Umat Islam lalu membuat parit (khandaq) untuk menghalau musuh. Contoh berikutnya adalah surat Al-Waqi’ah yang maknanya adalah kejadian/peristiwa yang besar (hari kiamat). Dinamakan Al-Waqi’ah yang diambil dari ayat pertama, sedangkan isinya sudah bisa diduga, yaitu mengenai keadaan umat manusia ketika terjadinya peristiwa besar hari kiamat dan kehidupan umat manusia sesudahnya, di alam akhirat.

Namun demikian, hal yang lebih membantu lagi adalah apabila kita hapal ayat-ayat yang akan kita rujuk. Semakin banyak ayat-ayat yang kita hapal, semakin mudah pula bagi kita untuk mencari rujukan atas suatu perkara. Selain itu juga akan semakin mempermudah kita dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.

Bagaimanakah Cara Menafsirkan Al-Quran?

Mengenai masalah penafsiran Al-Quran, silakan bertanya kepada yang memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawabnya. Sebab, penulis TIDAK memiliki kapasitas keilmuan untuk berbicara mengenai metode menafsirkan Al-Quran beserta bidang-bidang ilmu apa saja yang harus dikuasai. Demikian pembahasan mengenai topik bagaimana memahami Al-Quran dengan baik, semoga bermanfaat.

Baca Juga: 30 Keutamaan Berzikir kepada Allah

Visits: 2493

Leave a Reply