Ulama yang sebaiknya tidak diikuti adalah topik bahasan artikel kali ini. Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’Ulumuddin menyebutkan ada tiga macam ulama. Pertama, ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. Kedua, ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti kepada Allah Azza Wa Jalla secara lahir maupun batin. Ketiga, ulama yang membinasakan dirinya, tetapi menyelamatkan orang lain dimana pada lahirnya ia menyeru manusia untuk berbuat kebaikan, tetapi secara sembunyi-sembunyi ia sendiri hanya mengejar-ngejar harta, mencari kekayaan, dan memburu popularitas serta kedudukan duniawi.
Pada hakikatnya, keberadaan ulama di tengah-tengah umat itu laksana air yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Namun, apabila air itu rusak, maka akan membahayakan kesehatan orang yang meminumnya.
Demikian pula halnya dengan ulama. Apabila ulamanya rusak perilakunya, maka hati umat pengikutnya pun akan menjadi mati, lupa akan akhirat, perilakunya kasar (bar-bar), kata-katanya pun tidak santun (kasar), agama diperlakukan hanya sebagai kedok untuk meraih dunia, kurang adab dalam kehidupan bermasyarakat, perilakunya menjadi suka mengganggu ketertiban dan merusak fasilitas umum, sehingga cenderung menciptakan keresahan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang damai dan santun.
Apakah seorang ulama itu baik atau tidak, maka akan bisa diketahui dari kesesuaian antara sikap dan perilaku sehari-harinya dengan hukum-hukum Allah SWT. Juga, dari seberapa jauh ulama itu meneladani sikap-sikap Rasulullah SAW sebagai suri teladan bagi setiap manusia yang mengaku beragama Islam.
Sebagai contoh, Rasulullah SAW adalah pribadi yang lemah lembut dalam berdakwah dan tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor, caci maki, maupun bahasa kasar lainnya. Oleh karenanya, apabila ada ulama yang suka sekali mengeluarkan kata-kata kotor, berkata kasar, dan mudah mencaci maki orang lain, maka sudah barang tentu ulama tersebut bukanlah ulama yang patut dijadikan sebagai panutan (ulama yang sebaiknya tidak diikuti). Sudah barang tentu, menghindar dari golongan ulama seperti itu akan jauh lebih berkah dan selamat bagi kehidupan dunia dan akhirat orang-orang mukmin.
“Rasulullah SAW bukanlah orang yang suka mengucapkan kata-kata jorok, bukan orang yang suka mengutuk, dan bukan pula tukang caci maki.” (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak diutus untuk mengutuk orang. Aku diutus hanya untuk menyebarkan kasih sayang.” (HR.Muslim)
“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, suka melaknat, orang yang keji dan suka berkata kotor.” (HR. Bukhari)
Dari Jabir bin Salim, “Aku berkata, “Buatlah ikatan perjanjian denganku wahai Rasulullah.” Beliau SAW lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau memaki orang lain.” Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang pun, baik ia orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan kambing.” (HR. Abu Dawud)
Allah SWT berfirman: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.S. Ali ‘Imran: 159)
Akhlak lemah lembut ini menjadi ciri golongan orang mukmin (orang yang beriman). Bahkan, Allah SWT pun memerintahkan kepada Nabi Musa as. untuk berbicara dengan cara yang santun dan lemah lembut kepada Fir’aun, padahal Fir’aun adalah manusia yang sombong dan zalim.
“Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan)-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku; pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Ta-Ha: 42 – 44)
Lalu, bagaimana seandainya orang yang suka mencaci maki, berkata kotor, dan ucapannya kasar itu adalah keturunan orang yang saleh? Apakah ia tetap patut untuk diikuti, bahkan diagung-agungkan sampai setara dengan kedudukan seorang waliyullah, atau bahkan nabiyullah?
Perlu diketahui, bahwa nasab (garis keturunan) itu tidak dapat dijadikan sebagai jaminan bagi seorang anak manusia untuk bisa mendapat hak istimewa di hadapan Allah SWT, atau bahkan untuk mendapatkan tiket masuk surga secara lebih mudah. Seseorang itu masuk surga bukan karena nasabnya (dia keturunan si A, si B, si C, dll), melainkan karena amal saleh dan akhlak mulia yang dilakukannya selama hidup di dunia.
Allah SWT berfirman: “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya. Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam.” (Al-Mu’minun: 101 – 103)
Walaupun ayahnya atau kakeknya atau leluhurnya adalah seorang waliyullah atau bahkan nabiyullah, bukan berarti anak keturunannya lantas bisa seenaknya memperoleh hak istimewa di hadapan Allah SWT. Apalagi kalau orang itu sampai bersikap sombong dan membanggakan diri sebagai keturunan seorang waliyullah atau nabiyullah, kemudian ia berlaku sewenang-wenang, mudah mencaci maki orang lain, berkata keji, berkata kotor/jorok, berlaku kasar, dan sebagainya. Padahal, teladan nabiyullah itu adalah berakhlak dengan santun dan lemah lembut, tidak pernah mencaci maki, berkata keji, dan berkata kotor. Jadi, sudah tentu golongan itu adalah jenis orang (ulama) yang sebaiknya tidak diikuti/ditaati/diteladani. Apalagi kalau sampai diagung-agungkan layaknya seorang waliyullah atau bahkan nabiyullah, tentu tidak benar.
Sebagai contoh adalah Qabil putera Nabi Adam as. Apakah dengan kedudukan Adam as. sebagai seorang nabi dan juga manusia yang pernah tinggal di dalam surga, lantas bisa menjamin bahwa Qabil juga saleh dan pasti dijamin masuk surga serta harus ditaati seperti ayahnya (Nabi Adam as.)? Tentu saja jawabannya adalah TIDAK. Qabil bahkan merupakan manusia yang pertama kali melakukan pembunuhan dan ditetapkan masuk neraka.
Contoh berikutnya adalah Kan’an putera Nabi Nuh as. Nabi Nuh as. adalah seorang rasul pertama yang sudah pasti adalah kekasih Allah. Namun, apakah itu otomatis bisa membuat puteranya mendapatkan keistimewaan di hadapan Allah? Apakah kerasulan Nuh as. bisa membuat anaknya memiliki kesalehan yang sama dengan Nabi Nuh as.? Apakah kedudukan Nuh as. sebagai seorang rasul, lantas bisa membuat anaknya secara otomatis mendapatkan tiket masuk ke dalam surga? Jawabannya adalah TIDAK. Kan’an termasuk golongan orang durhaka dan telah ditetapkan untuk masuk neraka.
Allah SWT berfirman: “Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.” (QS. Hud: 45 – 46)
Contoh lainnya adalah paman Rasulullah SAW, Abu Thalib. Apakah dengan kedudukan Muhammad SAW sebagai rasulullah, maka bisa menjamin bahwa paman Beliau SAW pun saleh dan mendapat jaminan tiket masuk surga? Jawabannya adalah TIDAK. Abu Thalib tidak mau mengucapkan syahadat walaupun ia paman Rasulullah SAW. Abu Thalib ditetapkan masuk neraka. Rasulullah SAW sendiri tidak bisa menolongnya dan bahkan dilarang untuk memohonkan ampunan bagi paman Beliau SAW.
Oleh karena itu, sebagai orang mukmin, ketika hendak menjadikan seseorang itu sebagai panutan, hendaknya melihat dari kesesuaian antara akhlaknya dengan akhlak Rasulullah SAW yang berakhlak dengan akhlak Al-Quran, bukan sekadar melihat dari keturunan siapakah orang itu. Apabila, mengagumi, maka hendaknya kagum secara sewajarnya saja, tidak berlebih-lebihan, apalagi sampai mengkultuskan atau mengagung-agungkan orang tersebut layaknya seorang nabiyullah yang dijamin akhlaknya dan bersih dari dosa. Ulama itu manusia biasa. Ia bukanlah nabi, bukan pula rasul yang bersih dari dosa. Ia bisa saja berbuat dosa dan kesalahan.
Apabila yang disampaikannya itu benar, maka ikuti bagian yang benar itu. Apabila yang disampaikannya ada yang salah, maka jangan diikuti bagian yang salah itu. Bahkan, kalau bisa diingatkan. Apabila kelakuan/akhlaknya mendekati akhlak Rasulullah SAW, maka patutlah ia menjadi teladan. Apabila kelakuan/akhlaknya tidak sesuai akhlak Rasulullah SAW, maka tidak boleh diikuti, tetapi tidak perlu dihujat, juga tidak perlu dicaci. Cukuplah menjauh saja dari golongan orang seperti itu dan tidak berurusan dengannya. Perkara dosa, biarlah dia sendiri yang mempertanggujawabkannya di hadapan Allah SWT, sementara kita tidak perlu ikut menghakiminya, cukup berpaling saja dari golongan orang seperti itu.
Bagaimanapun, Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir, tidak ada lagi nabi dan rasul setelahnya, sehingga tidak ada seorang manusia pun yg dijamin bersih dari dosa. Ditambah lagi, umat terbaik adalah generasi sahabat nabi, setelah itu generasi tabi’in (generasi yang hidup setelah sahabat), dan setelahnya adalah generasi tabi’ut tabi’in. Sementara itu, umat manusia di jaman sekarang, sudah terpisah jarak generasi lebih dari satu milenium (seribu tahun). Maka, bagaimana bisa generasi dari masa sekarang disejajarkan kedudukannya dengan generasi terbaik dari masa belasan abad yang lalu? Apalagi diagung-agungkan (dikultuskan) secara membabi buta laksana dia adalah seorang nabi yang bersih dari dosa?
Semoga artikel mengenai ulama yang sebaiknya tidak diikuti ini bisa bermanfaat.
Referensi:
Addimasyqi, Muhammad Jamaluddin Alqasimi (penyusun). Tidak Bertahun. Mau’izhatul Mukminin (Ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin) Karya Imam Al-Ghazali. Penerbit Al-Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubro
Al-Badri, Abdul ‘Aziz. Al Islaamu Bainal Ulamaa Wal Hukkaam. Salim Muhammad Wakid (Penerjemah). 1987. Peran Ulama dan Penguasa. Pustaka Mantiq. Solo.
Baca Juga:
Merasa Bangga dengan Amal Ibadah adalah Akhlak Tercela
Views: 809